Minggu, 31 Maret 2019

Kumpulan Cerpen; Futur

https://wall.alphacoders.com/


            Badan terbujur lemas dikasur, tak bertenaga walau sudah meminum proman dua kali. Sebongkah snack pitato, berjajar rapi memenuhi ruang kamar yang sumpek kedap angin. Hari yang melelahkan, bikin malas dan bikin penat. Rian menyekap wajahnya berusaha untuk melek walau dipaksa, memeriksa keadaan dan mendapati jam sudah menunjuk pukul 6

“anjir!” pekiknya, dia tidak bangun subuh pagi ini. Lekas berlari ke kamar mandi menyalakan kran air untuk digunakan berwudhu.

Pagi ini dia murung, seakan warna dunia pudar melempem bagai krupuk yang di ler di udara terbuka selama tiga hari.
“kenapa?” tanyanya pada diri sendiri, dia tak kuasa menahan amarah yang semenjak tadi tak bisa di keluarkan. Tubuhnya kaku dan mati rasa menghadapi rasa malas yang menggebu-gebu ada di dalam hatinya.

            “apa kah ini penyakit?” tanyanya kembali
Tak menentu rasa yang keluar menimbulkan gejolak mager yang mengakang badan. Badan sulit di gerakkan, sendi terkunci dengan gembok pakem absolute
“Rian? Kamu masih tiduran di Kasur? Ini udah jam berapa!? Ayo bangun! Kerja apa kek atau belajar ketimbang turaturu aja” jerit sang Ibu.
Rian masih mendengkur sambil mengerukupkan kepalanya di balik bantal, medan magnet yang begitu besar di dalam Kasur membuat diri itu terus tersedot seperti jurus banso tein dari Pain.
“hmm” dengusnya seakan tak mau melepaskan kemesraannya kepada Kasur
Sang ibu tak habis pikir, lekas itu memaksa Rian keluar dari Kasur, menarik tangannya hingga Rian berada di posisi berdiri dengan muka sayu seperti habis diputusin pacar.
“cepet cuci muka, mandi, jangan ke Kasur lagi, sekarang sampai jam delapan malam tempat ini terlarang untukmu” Jelas sang Ibu.
Rian dengan malas melangkahkan kaki menuju kamar mandi, membasuh muka kemudian mandi sesuai anjuran sang ibu, meski kotoran serta bau badan terangkat, namun rasa malas tetap bersemayang pada tubuhnya.

            Rian melongo di ruang tamu, sang ibu membuatkan secangkir kopi pahit agar Rian benar-benar melek dan tersadar dari kesemuan dunia, tentu saja sang ibu sangat kebingungan mendapati anaknya yang biasanya ceria dan njingkrak-jingkrak tiap pagi tiba-tiba lesu kayak kurang gizi.

“kamu ini kenapa to? Coba jelaskan pada ibu apa yang sedang kamu rasakan sekarang?” tanya ibu penuh pengertian, tangannya di lekatkan di tangan anaknnya, mengambil posisi duduk sambil terus menatap anaknya yang sekarang menatap depan dengan kekosongan.
Rian tak serta merta menjawab. Sekilas dirinya berpikir perihal apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Semua seperti kosong, tak ada arti hidup, tak ada harapan, tak ada masa depan.
“aku…” kali ini Rian mulai angkat bicara, sang ibu mendekat supaya bisa mendengar suara anaknya dengan jelas.
“aku merasa hampa, hatiku tidak memiliki semangat dan tujuan, semua pupus bagai daun kering yang terbakar api, bersisa abu kemudian terterpa angin, kosong melompong bagai cangkang kosong, yang terbuang di sebuah padang pasir gersang tak berpenghuni”
Sang ibu hanya terdiam, melihat anaknya menjadi sangat puitis, tak seperti biasanya yang terkadang nyolot sana nyolot sini.
“mau periksa ke dokter?” tanya sang Ibu.
Rian tak memberikan jawaban, hanya mengangguk pelan sambil tetap menatap kosong ke depan.

            Sampailah mereka di seorang psikiater. Tanpa banyak cincong Rian sudah berhadapan dengan sang dokter. Sang ibu menepi di ruang tunggu sambil menonton sinetron yang sedang viral di TV.

“Namanya?”
“Rian”
“Umur”
“20 hampir 21”
“apa yang membuat anda datang kemari?”
“Tidak tau”
“apa yang membuat anda tidak tau?”
“tidak tau”
“lho” dokter itu menjadi bingung, Rian tak kalah bingung
“mungkin kita awali dari awal dulu, apa yang menyebabkan anda menjadi murung?”
“tidak tau”
“apakah kamu tahu semenjak kapan anda menjadi murung?”
“tidak tau”
“adakah tanda-tanda atau gejala satu atau dua hari sebelumnya sebelum anda menjadi seperti ini?”
“tidak tau”
“bisakah anda berbicara selain tidak tau?”
“tidak”

Hening sejenak, sang dokter rupanya berhasil menyimpulkan sesuatu. Menulis dikertas dengan ekspresi serius sambil geleng-geleng kepala.

“jadi begini nak Rian” sang dokter menghela nafas sejenak “sepertinya anda sedang mengalami sebuah trauma kekinian. Yakni sebuah trauma yang sering dialami para kaum milenial entah itu karena kekurangan asupan mie instan, kehabisan kuota di tanggal tua, atau ketika kekasih ditikung oleh teman dekat”
“Ta-tapi dok, saya tidak mengalami hal seperti itu”
“tentu saja tidak, tadi itu hanyalah sebuah contoh saja, pada intinya penyakit trauma kekinian itu tercipta ketika diri sudah berada di puncak, kemudian tiba-tiba jatuh tersungkur kebawah, bisa diumpamakan dengan grafik penjualan yang bulan lalu naik maksimal, dibulan ini jatuh ambruk tak bersisa”
Rian mantuk-mantuk paham dengan penjelasan sang dokter. “jadi pada intinya saya sekarang sedang berada di masa ketika grafik saya sedang ambruk dok?” tanya Rian, memastikan
sang dokter mengangguk “rutinitas yang padat juga sangat mempengaruhi, mental nak Rian yang sedang tinggi tiba-tiba runtuh dan membuat gejala rasa malas dan ingin meninggalkan semuanya”
“diri saya memang benar-benar merasa lumpuh dan malas untuk berbuat apapun, kepingin istirahat, pingin leyeh-leyeh, pingin jalan-jalan menatap pegunungan sekitar, ke pantai dan berenang disana, ke pemandian air hangat sambil menyetel lagu haroki, dll”
“jadi kamu sudah paham kan mengenai apa yang sedang kamu rasakan”
Rian mengangguk.



Ahad, March 31, 2019

M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar