Minggu, 18 Agustus 2019

Kumpulan Cerpen ; Mimpi Sang Pejuang




Tubuhnya hanya berisi tulang berbalut kulit kusam meranggas. Bercermin dengan seragam hijau kecoklatan kebanggaan. Baret kusam penuh bekas lubang dikenakannya. Tampak gagah walau umur sudah men-cat habis rambut hitamnya. Menjadi putih bersih seperti hatinya yang rela mati kapanpun demi negara. Dalam hidupnya, Kakek itu sudah berkali-kali bergelut dengan maut. Tidak seperti game yang ketika mati bisa respawn kapanpun. Jika Ia mati tentu jiwanya akan langsung menuju ke alam baka.

Sang Kakek mulai mencium aroma kemerdekaan. Instingnya yang tajam – Berkat hasil pertempuran yang tak terhitung – membuat Dia mengerti situasi tanpa harus mendapat suplai informasi intelejen. Kakek itu tersenyum. Nampak dari kejauhan, seorang pemuda berjalan mendekat ke arahnya.

“Jarwo, berapa lama lagi saya harus menunggu pekikan kemerdekaan itu?” tanya sang kakek.
“sabar kek. Nippon sudah kalah dan menyerah kepada sekutu. Sekarang para pemuda tengah bernegoisasi dengan para sesepuh terkait masalah ini. Kami berjanji akan memproklamasikan kemerdekaan secepatnya” Sahut sang pemuda. Tatapan matanya penuh dengan impian dan gelora semangat juang.
Sang kakek tersenyum khidmat. Betapa bahagianya. Menepuk pundak sang pemuda sambil mengacungkan jempol “begitulah harusnya seorang pemuda, penuh semangat menyongsong perubahan. Kami para tua disini hanyalah pijakan untuk mengangkat kalian menuju tujuan. Tentu kedepannya tugas kalian bakal sama, menjadi pijakan bagi anak-anak dan cucu-cucu kalian dalam membantu upaya mereka meraih tujuan” kata sang Kakek. Nasehat seorang tua memang selalu mengena di hati.
Pemuda itu menangis lalu memeluk erat sang kakek. Betapa susahnya hidup di zaman penjajahan ini. Kerja paksa, siksaan, peperangan, kelaparan, kemiskinan, menjadi hal lumrah yang terjadi dimana-mana. Namun sang kakek menjalaninya dengan tabah.

“saya berjanji akan melanjutkan perjuangan bangsa ini apapun yang terjadi, kek” imbuh sang pemuda. Mereka berdua menangis dalam keharuan yang sangat.

            Para pemuda yang tergabung dalam gerakan bawah tanah menculik Soekarno, Bersama Fatmawati dan Guntur menuju ke Rengasdengklok. Perdebatan sengit terjadi, pemuda berusaha meyakinkan Soekarno supaya proklamasi bisa segera dikumandangkan. Mengingat waktunya sangat pas karena Nippon sudah keok dengan sekutu. Apalagi para satuan pejuang juga berjanji akan siap berjuang mengawal kemerdekaan.

            Malam yang dingin. Bulan bersinar bulat sempurna. Sang Kakek tidak bisa tidur untuk sementara. Pikirannya masih berkabung memikirkan masa depan bangsanya. Kakek itu berharap bisa melihat kemerdekaan Indonesia sebelum ajal menjemputnya. Jam berdenting merdu dua belas kali. Suara jangkrik bersahutan menggema di rerumputan. Hutan dan padang rumput terhampar sejauh mata melotot, udara bersih dan suasana tenang masih terasa di Jakarta. Di sisi lain, Soekarno akhirnya sepakat supaya proklamasi di kumandangkan besok pagi. Maka disusunlah naskah proklamasi oleh Soekarno dan para pejuang, kemudian diketik naskah proklamasi itu pada malam itu oleh Sayuti.

            Kakek tua itu merebahkan badannya yang kering ke atas Kasur. Perlahan tapi pasti matanya mulai mengatup. Ia berfikir, meski nantinya negara ini telah memproklamasikan kemerdekaan, para penjajah itu pasti akan tetap berusaha menguasai negeri ini. Mereka iri dengan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Untuk itu mereka pasti akan terus mati-matian menguasai negeri ini apapun yang terjadi.
Tak lama Sang kakek pun tertidur.
***

            Sebuah masa yang tidak di ketahui. Jutaan kendaraan melaju memenuhi jalanan beraspal. Burung-burung menghilang. Pohon-pohon rindang tertebang. Pemandangan hijau asri terganti dengan Gedung-gedung pencakar langit. Orang-orang berdesakan, menanti giliran masuk bis umum di kota itu. semua disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Berusaha mengais pundi-pundi rezeki yang harus mereka ambil dengan susah payah kesana kemari. Para konglomerat tak peduli, tak menggubris jutaan kere yang hidup di kolong jembatan. Sungai berbau, limbah-limbah pabrik mencemari tanah, air, dan udara. Sampah berceceran tak karuan, baik sampah dalam bentuk benda maupun sampah masyarakat. Kakek itu hanya bisa mengkernyitkan dahi. Tak paham dengan situasi yang terjadi.

“Dimana aku?” tanya sang Kakek.

Kakek itu berjalan menyusuri trotoar. Kerumunan orang banyak tampak menghiraukannya.
“hei anak muda, saya sekarang berada dimana?” tanyanya pada dua orang remaja yang sedang bermesraan di sebuah taman.
Kedua remaja laki-laki dan perempuan itu melengok ke belakang. Melotot, melengok ke segala arah, kemudian merasa ketakutan dan lekas kabur dari situ.
“SE-SETAAAN…” jerit mereka sambil berlari pontang-panting.
Kakek itu semakin tak mengerti. Dia amat tersinggung karena dia dipanggil setan. Akhirnya dia mencoba bertanya pada yang lain. namun respon mereka sama. Melotot, kebingungan, kemudian di akhiri dengan berlari sambil menjerit-jerit ketakutan. Tak lama, sang kakek akhirnya sadar. Bayangannya tidak nampak di cermin.
“ternyata sekarang aku berada di alam arwah. Tapi ada dimana aku?” kakek itu makin bimbang. Tidak ada satu orangpun yang bisa menjawabnya apalagi mendengar pertanyaannya.

            Untung kakek itu bisa membaca. Dia sempat mengenyam bangku Sekolah Dasar selama enam tahun. Akhirnya beberapa tulisan yang ada di sekililingnya membuatnya tersadar. Dan kini Kakek itu yakin bahwa sekarang dia berada di kampung halamannya ‘Indonesia’.
“tidak mungkin ini negeriku!” pekiknya. Sang Kakek tidak bisa menerima ini.

            Kakek itu tak habis pikir. Mengapa seluruh pemandangan yang ada di kampung halamannya berubah? Jalanan kecil campuran kerikil dan tanah sekarang berubah menjadi jalanan aspal yang membentang luas. Sepeda ontel dan delman telah tiada, berganti dengan kendaraan bermesin modern. Gubug-gubug reot telah beralih ke kolong jembatan dan pinggiran kali, sedangkan gubug disini telah berganti dengan bangunan-bangunan megah menjulang tinggi. Lapangan kampung yang suka dibuat main anak-anak menghilang, berganti tempat perbelanjaan raksasa yang mereka sebut dengan ‘Mall’. Kakek itu tidak melihat orang-orang kenalannya yang ada dikampung, semuanya telah berganti menjadi manusia bar-bar yang memenuhi setiap sudut tempat.
“Ini pasti bukan kampung halamanku, ini pasti bukan negeriku” Pikirnya.

Dia melihat anak-anak muda berjalan bergandengan tangan layaknya pasangan suami istri.
“Seharusnya para pemuda itu menghabiskan masa mudanya untuk belajar, berjuang, dan berkarya” katanya sambil memaki-maki lelaki muda itu yang tak hentinya menggombali sang gadis bagai gombal berbau penguk yang ada di dapur.
Dia melihat pengemis dan para kere bertebaran di jalan-jalan. Meminta sambil memelas para pejalan dan pengendara.
“Meski banyak orang di negaraku kere, mereka tak akan sudi meminta dan mengemis. Mereka akan berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja. Lebih baik mati kelaparan dan tersiksa dari pada harus meminta-minta”

Bukan cuma itu. kakek itu melihat banyak murid-murid berseragam sekolah yang membolos, orang-orang yang membuang sampah-sampah di sepanjang sungai, mencuri, copet, bermain alat modern berbentuk persegi panjang tanpa kenal waktu. Melihat deskriminasi pekerja yang beda golongan, melihat kubu-kubu saling bentrok memperebutkan kebenaran. Sang kakek juga sempat nyelonong ke Gedung pemerintahan. Betapa kagetnya dia melihat begitu banyak transaksi gelap disana-sini. Dia juga melipir ke pelabuhan, banyak uang sogokan masuk untuk melancarkan barang perdagangan. Ada juga sogokan di pengadilan, sogokan di penjara, sogokan di jalur masuk sekolah, bahkan sogokan di pemerintahan. Rupanya ‘sogokan’ sudah menjadi ‘kebutuhan pokok’ di negeri ini.

Matahari mulai terbenam. Kakek itu sudah jerah melihat segala yang terjadi.
“apa-apaan dengan negeri ini?”
“Negeriku yang kutahu diisi oleh kumpulan pejuang, berkepribadian ramah, santun dan berbudi pekerti luhur. Lingkungannya bersih, sungainya jernih, jiwa pemudanya penuh gelora semangat untuk negeri. Pekerja keras serta selalu berjuang menegakkan kebenaran. Bukan kumpulan pemuda yang suka berpacaran, bermain alat persegi panjang, perokok, serta membolos saat jam pelajaran. Ini pasti bukan negeri ku” imbuhnya.

Sang Kakek tak ingin segala peluh perjuangannya selama ini menghasilkan negara yang seperti ini. Dia tahu negaranya harus menjadi macan asia yang mampu mempimpin peradaban dunia. Namun yang di lihat sampai detik ini sangat berbeda dari yang dibayangkan.
“apa yang menyebabkan mereka semua menjadi seperti itu?” tak hentinya sang Kakek bertanya dalam hati. Tak ada yang bisa menjawab selain bunyi riuh angin yang menerpa  jemuran.

Hari semakin senja. Kakek itu meratap di sebuah jembatan penyebrangan. Melihat seorang ibu rumah tangga tanpa dosa membuang sampah di aliran sungai. sungai yang sudah keruh dan buntet di sana-sini. Sudah barang tentu jika musim penghujan tiba akan membawa dampak banjir di negeri ini. Kakek itu tersenyum. Memandang langit yang terbias sinar oranye mentari. Tinggal menunggu waktu sampai sinarnya tenggelam di balik laut.
“Mungkin ini yang harus dihadapi oleh generasi penerusku. Bukan melulu soal peperangan dan kontak fisik. Namun juga pola pikir yang harus dibenahi. Ya, peperangan Pola pikir” simpulnya. Instingnya memang tajam. Kakek itu bisa langsung menyimpulkan dari hasil pengamatan sekilas pada hari itu.

“Aku hanya bisa berdo’a, Semoga anak cucuku kelak tidak kehilangan jati dirinya sebagai seorang pejuang. Tak kehilangan naluri sebagai seorang patriot yang produktif serta aktif membela negara, mengharumkan negara, menjayakan negara. Mereka seharusnya sadar, dengan seluruh pengorbanan para pejuang dan pahlawan yang telah gugur demi kemerdekaan Indonesia” Kakek itu menanamkan keyakinan dalam diri. Bahwa para anak cucunya kelak akan mampu menghadapi tantangan ini. Bisa membuat Indonesia menjadi soko peradaban dunia.
“kalian pasti akan membawa negeri ini menuju ke arah yang lebih baik” Imbuhnya.
Sinar putih lembut perlahan membalut ruhnya. Pandangannya mulai samar, perlahan memudar oleh terangnya cahaya yang mendekap seluruh raganya.

Pagi menyingsing. Segala persiapan telah dilakukan. Sebagian besar menjalankan ibadah puasa tak terkecuali kakek. Kakek itu meski sudah tua namun tak lupa menjalankan syariat agamanya – meski tadi pagi tidak sempat menunaikan sahur. Sang Kakek menatap dari luar jendela, melihat dari kejauhan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Akhirnya hari ini datang juga. Air mata kakek itu tak henti menetes menghujam ke bumi. Perjuangannya kini telah usai, dan akan segera dilanjutkan perjuangan itu ke penerus generasi muda.

Proklamasi kemerdekaan di kumandangkan. Bendara merah putih telah dikibarkan. Soekarno turun dari podium. Kakek itu masih tegap memandang lekat-lekat dari jendela rumahnya dengan posisi tangan di dahi. Menaruh rasa hormat pada bendara merah putih yang berkibar diterpa angin. Hormat pada segala arwah pejuang yang telah gugur membela negeri. Hormat kepada para pemuda yang akan melanjutnya estafet perjuangan. Tak terasa lama sekali kakek itu menatap sang saka merah putih yang berkibar, oh, ternyata dia sudah tidak berada disana. Detak jantungnya telah berhenti berdetak. Tubuhnya telah terbujur kaku sambil tetap berada dalam posisinya.


Jepara, 15 July 2019


   M      H      A

0 komentar:

Posting Komentar