Tubuhnya hanya berisi tulang berbalut kulit
kusam meranggas. Bercermin dengan seragam hijau kecoklatan kebanggaan. Baret
kusam penuh bekas lubang dikenakannya. Tampak gagah walau umur sudah men-cat
habis rambut hitamnya. Menjadi putih bersih seperti hatinya yang rela mati
kapanpun demi negara. Dalam hidupnya, Kakek itu sudah berkali-kali bergelut
dengan maut. Tidak seperti game yang ketika mati bisa respawn kapanpun. Jika
Ia mati tentu jiwanya akan langsung menuju ke alam baka.
Sang Kakek mulai mencium aroma kemerdekaan.
Instingnya yang tajam – Berkat hasil pertempuran yang tak terhitung – membuat Dia
mengerti situasi tanpa harus mendapat suplai informasi intelejen. Kakek itu
tersenyum. Nampak dari kejauhan, seorang pemuda berjalan mendekat ke arahnya.
“Jarwo, berapa lama lagi saya harus
menunggu pekikan kemerdekaan itu?” tanya sang kakek.
“sabar kek. Nippon sudah kalah dan menyerah
kepada sekutu. Sekarang para pemuda tengah bernegoisasi dengan para sesepuh
terkait masalah ini. Kami berjanji akan memproklamasikan kemerdekaan secepatnya”
Sahut sang pemuda. Tatapan matanya penuh dengan impian dan gelora semangat
juang.
Sang kakek tersenyum khidmat. Betapa
bahagianya. Menepuk pundak sang pemuda sambil mengacungkan jempol “begitulah
harusnya seorang pemuda, penuh semangat menyongsong perubahan. Kami para tua
disini hanyalah pijakan untuk mengangkat kalian menuju tujuan. Tentu kedepannya
tugas kalian bakal sama, menjadi pijakan bagi anak-anak dan cucu-cucu kalian
dalam membantu upaya mereka meraih tujuan” kata sang Kakek. Nasehat seorang tua
memang selalu mengena di hati.
Pemuda itu menangis lalu memeluk erat sang
kakek. Betapa susahnya hidup di zaman penjajahan ini. Kerja paksa, siksaan, peperangan,
kelaparan, kemiskinan, menjadi hal lumrah yang terjadi dimana-mana. Namun sang
kakek menjalaninya dengan tabah.
“saya berjanji akan melanjutkan perjuangan
bangsa ini apapun yang terjadi, kek” imbuh sang pemuda. Mereka berdua menangis
dalam keharuan yang sangat.
Para
pemuda yang tergabung dalam gerakan bawah tanah menculik Soekarno, Bersama Fatmawati
dan Guntur menuju ke Rengasdengklok. Perdebatan sengit terjadi, pemuda berusaha
meyakinkan Soekarno supaya proklamasi bisa segera dikumandangkan. Mengingat
waktunya sangat pas karena Nippon sudah keok dengan sekutu. Apalagi para satuan
pejuang juga berjanji akan siap berjuang mengawal kemerdekaan.
Malam
yang dingin. Bulan bersinar bulat sempurna. Sang Kakek tidak bisa tidur untuk sementara.
Pikirannya masih berkabung memikirkan masa depan bangsanya. Kakek itu berharap bisa
melihat kemerdekaan Indonesia sebelum ajal menjemputnya. Jam berdenting merdu
dua belas kali. Suara jangkrik bersahutan menggema di rerumputan. Hutan dan
padang rumput terhampar sejauh mata melotot, udara bersih dan suasana tenang
masih terasa di Jakarta. Di sisi lain, Soekarno akhirnya sepakat supaya
proklamasi di kumandangkan besok pagi. Maka disusunlah naskah proklamasi oleh Soekarno
dan para pejuang, kemudian diketik naskah proklamasi itu pada malam itu oleh Sayuti.
Kakek
tua itu merebahkan badannya yang kering ke atas Kasur. Perlahan tapi pasti
matanya mulai mengatup. Ia berfikir, meski nantinya negara ini telah
memproklamasikan kemerdekaan, para penjajah itu pasti akan tetap berusaha menguasai
negeri ini. Mereka iri dengan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Untuk itu
mereka pasti akan terus mati-matian menguasai negeri ini apapun yang terjadi.
Tak lama Sang kakek pun tertidur.
***
Sebuah
masa yang tidak di ketahui. Jutaan kendaraan melaju memenuhi jalanan beraspal.
Burung-burung menghilang. Pohon-pohon rindang tertebang. Pemandangan hijau asri
terganti dengan Gedung-gedung pencakar langit. Orang-orang berdesakan, menanti
giliran masuk bis umum di kota itu. semua disibukkan dengan pekerjaan
masing-masing. Berusaha mengais pundi-pundi rezeki yang harus mereka ambil
dengan susah payah kesana kemari. Para konglomerat tak peduli, tak menggubris
jutaan kere yang hidup di kolong jembatan. Sungai berbau, limbah-limbah pabrik
mencemari tanah, air, dan udara. Sampah berceceran tak karuan, baik sampah
dalam bentuk benda maupun sampah masyarakat. Kakek itu hanya bisa
mengkernyitkan dahi. Tak paham dengan situasi yang terjadi.
“Dimana aku?” tanya sang Kakek.
Kakek itu berjalan menyusuri trotoar. Kerumunan
orang banyak tampak menghiraukannya.
“hei anak muda, saya sekarang berada
dimana?” tanyanya pada dua orang remaja yang sedang bermesraan di sebuah taman.
Kedua remaja laki-laki dan perempuan itu
melengok ke belakang. Melotot, melengok ke segala arah, kemudian merasa
ketakutan dan lekas kabur dari situ.
“SE-SETAAAN…” jerit mereka sambil berlari
pontang-panting.
Kakek itu semakin tak mengerti. Dia amat
tersinggung karena dia dipanggil setan. Akhirnya dia mencoba bertanya pada yang
lain. namun respon mereka sama. Melotot, kebingungan, kemudian di akhiri dengan
berlari sambil menjerit-jerit ketakutan. Tak lama, sang kakek akhirnya sadar.
Bayangannya tidak nampak di cermin.
“ternyata sekarang aku berada di alam arwah.
Tapi ada dimana aku?” kakek itu makin bimbang. Tidak ada satu orangpun yang
bisa menjawabnya apalagi mendengar pertanyaannya.
Untung
kakek itu bisa membaca. Dia sempat mengenyam bangku Sekolah Dasar selama enam
tahun. Akhirnya beberapa tulisan yang ada di sekililingnya membuatnya tersadar.
Dan kini Kakek itu yakin bahwa sekarang dia berada di kampung halamannya
‘Indonesia’.
“tidak mungkin ini negeriku!” pekiknya. Sang
Kakek tidak bisa menerima ini.
Kakek
itu tak habis pikir. Mengapa seluruh pemandangan yang ada di kampung halamannya
berubah? Jalanan kecil campuran kerikil dan tanah sekarang berubah menjadi
jalanan aspal yang membentang luas. Sepeda ontel dan delman telah tiada, berganti
dengan kendaraan bermesin modern. Gubug-gubug reot telah beralih ke kolong
jembatan dan pinggiran kali, sedangkan gubug disini telah berganti dengan bangunan-bangunan
megah menjulang tinggi. Lapangan kampung yang suka dibuat main anak-anak
menghilang, berganti tempat perbelanjaan raksasa yang mereka sebut dengan ‘Mall’.
Kakek itu tidak melihat orang-orang kenalannya yang ada dikampung, semuanya
telah berganti menjadi manusia bar-bar yang memenuhi setiap sudut tempat.
“Ini pasti bukan kampung halamanku, ini
pasti bukan negeriku” Pikirnya.
Dia melihat anak-anak muda berjalan
bergandengan tangan layaknya pasangan suami istri.
“Seharusnya para pemuda itu menghabiskan
masa mudanya untuk belajar, berjuang, dan berkarya” katanya sambil memaki-maki
lelaki muda itu yang tak hentinya menggombali sang gadis bagai gombal berbau
penguk yang ada di dapur.
Dia melihat pengemis dan para kere
bertebaran di jalan-jalan. Meminta sambil memelas para pejalan dan pengendara.
“Meski banyak orang di negaraku kere,
mereka tak akan sudi meminta dan mengemis. Mereka akan berjuang memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan bekerja. Lebih baik mati kelaparan dan tersiksa dari
pada harus meminta-minta”
Bukan cuma itu. kakek itu melihat banyak
murid-murid berseragam sekolah yang membolos, orang-orang yang membuang
sampah-sampah di sepanjang sungai, mencuri, copet, bermain alat modern
berbentuk persegi panjang tanpa kenal waktu. Melihat deskriminasi pekerja yang
beda golongan, melihat kubu-kubu saling bentrok memperebutkan kebenaran. Sang
kakek juga sempat nyelonong ke Gedung pemerintahan. Betapa kagetnya dia melihat
begitu banyak transaksi gelap disana-sini. Dia juga melipir ke pelabuhan,
banyak uang sogokan masuk untuk melancarkan barang perdagangan. Ada juga
sogokan di pengadilan, sogokan di penjara, sogokan di jalur masuk sekolah,
bahkan sogokan di pemerintahan. Rupanya ‘sogokan’ sudah menjadi ‘kebutuhan
pokok’ di negeri ini.
Matahari mulai terbenam. Kakek itu sudah
jerah melihat segala yang terjadi.
“apa-apaan dengan negeri ini?”
“Negeriku yang kutahu diisi oleh kumpulan
pejuang, berkepribadian ramah, santun dan berbudi pekerti luhur. Lingkungannya
bersih, sungainya jernih, jiwa pemudanya penuh gelora semangat untuk negeri.
Pekerja keras serta selalu berjuang menegakkan kebenaran. Bukan kumpulan pemuda
yang suka berpacaran, bermain alat persegi panjang, perokok, serta membolos
saat jam pelajaran. Ini pasti bukan negeri ku” imbuhnya.
Sang Kakek tak ingin segala peluh
perjuangannya selama ini menghasilkan negara yang seperti ini. Dia tahu
negaranya harus menjadi macan asia yang mampu mempimpin peradaban dunia. Namun
yang di lihat sampai detik ini sangat berbeda dari yang dibayangkan.
“apa yang menyebabkan mereka semua menjadi
seperti itu?” tak hentinya sang Kakek bertanya dalam hati. Tak ada yang bisa menjawab
selain bunyi riuh angin yang menerpa jemuran.
Hari semakin senja. Kakek itu meratap di
sebuah jembatan penyebrangan. Melihat seorang ibu rumah tangga tanpa dosa
membuang sampah di aliran sungai. sungai yang sudah keruh dan buntet di
sana-sini. Sudah barang tentu jika musim penghujan tiba akan membawa dampak
banjir di negeri ini. Kakek itu tersenyum. Memandang langit yang terbias sinar
oranye mentari. Tinggal menunggu waktu sampai sinarnya tenggelam di balik laut.
“Mungkin ini yang harus dihadapi oleh
generasi penerusku. Bukan melulu soal peperangan dan kontak fisik. Namun juga pola
pikir yang harus dibenahi. Ya, peperangan Pola pikir” simpulnya. Instingnya
memang tajam. Kakek itu bisa langsung menyimpulkan dari hasil pengamatan
sekilas pada hari itu.
“Aku hanya bisa berdo’a, Semoga anak cucuku
kelak tidak kehilangan jati dirinya sebagai seorang pejuang. Tak kehilangan
naluri sebagai seorang patriot yang produktif serta aktif membela negara,
mengharumkan negara, menjayakan negara. Mereka seharusnya sadar, dengan seluruh
pengorbanan para pejuang dan pahlawan yang telah gugur demi kemerdekaan
Indonesia” Kakek itu menanamkan keyakinan dalam diri. Bahwa para anak cucunya
kelak akan mampu menghadapi tantangan ini. Bisa membuat Indonesia menjadi soko
peradaban dunia.
“kalian pasti akan membawa negeri ini
menuju ke arah yang lebih baik” Imbuhnya.
Sinar putih lembut perlahan membalut
ruhnya. Pandangannya mulai samar, perlahan memudar oleh terangnya cahaya yang
mendekap seluruh raganya.
Pagi menyingsing. Segala persiapan telah
dilakukan. Sebagian besar menjalankan ibadah puasa tak terkecuali kakek. Kakek
itu meski sudah tua namun tak lupa menjalankan syariat agamanya – meski tadi
pagi tidak sempat menunaikan sahur. Sang Kakek menatap dari luar jendela, melihat
dari kejauhan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Akhirnya hari ini datang juga. Air
mata kakek itu tak henti menetes menghujam ke bumi. Perjuangannya kini telah
usai, dan akan segera dilanjutkan perjuangan itu ke penerus generasi muda.
Proklamasi kemerdekaan di kumandangkan. Bendara
merah putih telah dikibarkan. Soekarno turun dari podium. Kakek itu masih tegap
memandang lekat-lekat dari jendela rumahnya dengan posisi tangan di dahi. Menaruh
rasa hormat pada bendara merah putih yang berkibar diterpa angin. Hormat pada
segala arwah pejuang yang telah gugur membela negeri. Hormat kepada para pemuda
yang akan melanjutnya estafet perjuangan. Tak terasa lama sekali kakek itu
menatap sang saka merah putih yang berkibar, oh, ternyata dia sudah tidak berada
disana. Detak jantungnya telah berhenti berdetak. Tubuhnya telah terbujur kaku
sambil tetap berada dalam posisinya.
Jepara, 15 July 2019
M H A
0 komentar:
Posting Komentar