Jumat, 23 Agustus 2019

Kumpulan Cerpen; Sidikidil Ngedebudut



            Daerah yang bagus. Sangat bagus. Lingkungan bagus. Budi pekerti orang-orangnya bagus walau ada juga yang kurang ajar. Namun rumahnya banyak yang jelek. Sebagian bagus, sebagian lain jelek. Disini, distu. Anak kecil bermain. Lambat laun semakin sedikit. Orang-orang memilih di rumah berdiam diri. Apa yang terjadi di luar sana? Entahlah, karna orang-orang pada mengurung diri pada rutinitasnya. Pada pikirannya. Hingga yang lainnya di abaikan. Beginikah hidup? Beginilah hidup. Tidak berwarna dan juga samar. Banyak orang yang merasakannya. Hanya sedikit orang yang hidupnya berwarna. Tapi Cuma sedikit. Yang lain Cuma menonton.

            Anak kecil itu termenung. Menunggui sesuatu yang amat penting. Seberapa pentingnya sesuatu itu. Sehingga anak itu tetap tabah menunggu. Dia jongkok di pinggiran jalan desa yang berlubang itu. Berlubang karena campurannya Cuma pasir dan kerikil. Matahari tertutub awan membuat anak itu jadi sudah tidak kepanasan. Tapi dia bosan juga menunggu. Lalu pergi ke suatu tempat.

            Rupanya anak itu mau main. Dia di ajak temannya main bola. Tapi di tolak. Lalu di ajak main lompat tali. Tetap di tolak. Di ajak main PB. Dia berpikir sejenak. Namun akhirnya di tolak. Jadi dia tidak main apa-apa.

“kenapa nggak mau main bola?” tanya seorang anak laki-laki
“nanti aku cidera”
“kenapa nggak mau main lompat tali” tanya seorang anak perempuan
“buat apa?”
“nanti pas besar, badanmu jadi enteng dan lincah”
“males”
“kenapa nggak main PB?” tanya anak-anak lain
“nggak punya duit”

Lalu anak itu pergi. Berpisah di situ. Dia menyendiri di pos kamling. Orang-orang berlalu lalang. Banyak kendaraan lewat. Kebanyakan sepeda motor. Tukang bakso keliling melintas. Anak kecil itu Cuma diam tak menggagas. dia masih menyendiri bersama pikirannya. Anak kecil itu meski kecil. Dia tak mau dianggap kecil. Pikirannya bisa melampui anak-anak kecil. Tapi orang-orang sekitar tak peduli itu. Itulah yang menyebabkan anak kecil itu murung. Dia merasa tidak ada. Dirinya seperti tidak di perhatikan. Padahal anak kecil itu sudah melakukan usaha yang lebih dari pada teman-teman sebayanya. Tapi yang dapat pujian dan perhatian malah temannya itu. Padahal yang membantunya itu dia. Yang melakukan itu dia. Dia berjuang namun orang lain tak acuh dan menganggapnya tidak ada. Anak kecil itu kecewa. Dia sangat kecewa pada orang-orang sekitar dan orang-orang yang dia kenal. Seakan ada tidak adanya dia itu sama saja.

“mengapa aku begini?” dia bertanya dalam hatinya. “adakah tempat untukku disaat manusia sudah membludak. Disaat semua serba mengedepankan egonya”

Dalam keadaan murung seperti itupun semua juga pada tidak peduli. Dia dikira Cuma anak ingusan yang masih ngompolan. Semua tak mengetahui bakatnya. Anak kecil itupun sedang mencari bakatnya. Dia sudah menemui itu. Tapi orang lain tetap saja menganggap hal itu remeh, temeh, biasa, dan merasa hal itu tidak pantas untuk di ketahui.  Untuk di pelajari. Padahal belum tentu mereka bisa membuatnya ataupun melakukannya. Walaupun anak kecil itu di acuhkan. Tetap dia ingin membuktikan bahwa dia tidak seperti orang-orang kebanyakan. Anak kecil itu lalu melamun. Dalam kesendiriannya. Dia merasa tidak di butuhkan. Bagaimana bisa orang yang tidak melakukan apapun bisa di perhatikan banyak orang. Kebanyakan seperti memilih tanpa ada dasar. Cuma untuk kesenangan tanpa memikirkan orang lain yang sebenarnya lebih layak di perhatikan. Sementara anak kecil itu merasa dirinya layak untuk di perhatikan. Tapi dia juga sadar dan tahu. Bahwa orang tuanya saja yang sering memperhatikannya ketimbang orang kebanyakan.

Di saat dia termenung. Dia melihat anak yang seumuran dengannya melintas di depannya.

“hai, mau main denganku” ajak anak kecil yang murung tadi
“maaf ya, tapi aku mau main bola di lapangan sana. Kamu kalau mau ikut, ikut aja ke sana”
Lalu anak yang melintas tadi pergi. Sedangkan anak kecil yang murung tadi semakin tersendiri dan tersingkir. Dia tak memiliki daya tarik apapun untuk mengikat orang lain. Rasanya hampa dan mencekam. Seakan dia di takdirkan hanya jadi pengikut saja.

            Anak kecil yang bosan menunggu itu mulai berjalan meninggalkan pos kamling. Kakinya melangkah namun dia tak tahu mau kemana. Yang penting melangkah saja. dia melihat teman sebayanya bermain, bergembira dan bersenang-senang. Di acuhkan saja sambil terus berjalan. Menurutnya, tidak seru jika bukan dia yang jadi tokohnya. Dalam pikirannya, sesuatu yang hanya mengikut saja itu membosankan. Dia ingin yang memimpin dan membentuk. Dia tidak ingin menjadi biasa dan di perintah oleh anak-anak lain. “itu sama saja perbudakan” katanya dalam hati. Semenjak itu dia menyendiri dan mencari orang lain yang mau memperhatikan dan mengakuinya. Sayangnya belum ada.

            Hidupnya merasa sendiri. Meski ada banyak manusia di dunia ini. Semua seakan tak melihatnya sama sekali. Bagaimana dia terjebak dalam realita. Yang terus berjalan meninggalkan apa yang diinginkannya. Juga meniggalkan yang menjadi tujuannya. Semua semu, akhirnya pupus dan terdeformasi antara kenyataan satu dengan yang lainnya. Hal itu tidak sesuai yang anak kecil itu bayangkan. Dia mengamati tapi tidak realistis.

“adakah tempat untukku. Meski aku berdiri di depan. Meski nantinya aku berkerumun bersama mereka. Akankah aku di perhatikan? Setidaknya ada yang mengakui keberadaan ku. Apakah usahaku Cuma sia-sia belaka. Di saat otoritas yang berkuasa. Segala sesuatu yang datang dengan penuh kejutan. Mungkinkah membuatku menjadi patokan banyak orang?”
Tidak, belum tentu. Banyak orang yang ingin di perhatikan. Anak kecil itu hanyalah satu dari milyaran orang yang juga sama ingin di perhatikan. Hanya saja ada yang kesampaian. Namun kebanyakan gagal dan jadi orang biasa saja.

“ini tidak adil!” batinnya menjerit menggerogoti tubuhnya yang memanas oleh amarah. Tanpa sadar anak kecil itu menangis. Dia berlari kerumah dan memeluk ibunya. Anak kecil itu merengek. Ibu itu lalu mengelus rambut anaknya sambil menanyakan apa yang membuat dia menangis. Tapi anak kecil itu cuma menggeleng dan masih tetap menangis. Sang ibu mulai kebingungan dan mendudukkannya di kursi. Lalu membuat segelas susu kental manis agar anaknya diam. Beberapa saat memang berefek. Anak kecil itu berhenti menangis. Ibupun melanjutkan menyapunya yang belum selesai. Anak kecil itu masih terdiam. Tatapannya kosong mengarah ke depan. Jam dinding berdenting menunjuk angka demi angka. Dingin mulai menyelinap ke sela-sela kakinya. Dia gemetaran. Derum mobil terdengar di jalanan. Rasa dingin mulai meraba sampai ke perut. Seluruh organ anak kecil itu seperti tidak berfungsi. Tangan dan bibirnya mulai memutih. Ibu tidak begitu memperhatikan karena sedang menyapu teras. Setelah selesai dan membuang sampah. Dia masuk ke dalam rumah. Gelas susu yang diminum anaknya jatuh ke lantai dan mengeluarkan bau tak sedap. Namun ibu tak memperhatikan susu tersebut. Malainkan anaknya yang sudah tidak bernafas.


29 Agustus 2014


M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar