Daerah yang bagus.
Sangat bagus. Lingkungan bagus. Budi pekerti orang-orangnya bagus walau ada
juga yang kurang ajar. Namun rumahnya banyak yang jelek. Sebagian bagus,
sebagian lain jelek. Disini, distu. Anak kecil bermain. Lambat laun semakin
sedikit. Orang-orang memilih di rumah berdiam diri. Apa yang terjadi di luar
sana? Entahlah, karna orang-orang pada mengurung diri pada rutinitasnya. Pada
pikirannya. Hingga yang lainnya di abaikan. Beginikah hidup? Beginilah hidup. Tidak
berwarna dan juga samar. Banyak orang yang merasakannya. Hanya sedikit orang
yang hidupnya berwarna. Tapi Cuma sedikit. Yang lain Cuma menonton.
Anak kecil itu
termenung. Menunggui sesuatu yang amat penting. Seberapa pentingnya sesuatu
itu. Sehingga anak itu tetap tabah menunggu. Dia jongkok di pinggiran jalan
desa yang berlubang itu. Berlubang karena campurannya Cuma pasir dan kerikil.
Matahari tertutub awan membuat anak itu jadi sudah tidak kepanasan. Tapi dia
bosan juga menunggu. Lalu pergi ke suatu tempat.
Rupanya anak itu
mau main. Dia di ajak temannya main bola. Tapi di tolak. Lalu di ajak main
lompat tali. Tetap di tolak. Di ajak main PB. Dia berpikir sejenak. Namun
akhirnya di tolak. Jadi dia tidak main apa-apa.
“kenapa nggak mau main bola?” tanya seorang anak laki-laki
“nanti aku cidera”
“kenapa nggak mau main lompat tali” tanya seorang anak perempuan
“buat apa?”
“nanti pas besar, badanmu jadi enteng dan lincah”
“males”
“kenapa nggak main PB?” tanya anak-anak lain
“nggak punya duit”
Lalu anak itu pergi. Berpisah di situ. Dia menyendiri di pos
kamling. Orang-orang berlalu lalang. Banyak kendaraan lewat. Kebanyakan sepeda
motor. Tukang bakso keliling melintas. Anak kecil itu Cuma diam tak menggagas.
dia masih menyendiri bersama pikirannya. Anak kecil itu meski kecil. Dia tak
mau dianggap kecil. Pikirannya bisa melampui anak-anak kecil. Tapi orang-orang
sekitar tak peduli itu. Itulah yang menyebabkan anak kecil itu murung. Dia
merasa tidak ada. Dirinya seperti tidak di perhatikan. Padahal anak kecil itu
sudah melakukan usaha yang lebih dari pada teman-teman sebayanya. Tapi yang
dapat pujian dan perhatian malah temannya itu. Padahal yang membantunya itu
dia. Yang melakukan itu dia. Dia berjuang namun orang lain tak acuh dan
menganggapnya tidak ada. Anak kecil itu kecewa. Dia sangat kecewa pada
orang-orang sekitar dan orang-orang yang dia kenal. Seakan ada tidak adanya dia
itu sama saja.
“mengapa aku begini?” dia bertanya dalam hatinya. “adakah tempat
untukku disaat manusia sudah membludak. Disaat semua serba mengedepankan egonya”
Dalam keadaan murung seperti itupun semua juga pada tidak peduli.
Dia dikira Cuma anak ingusan yang masih ngompolan. Semua tak mengetahui
bakatnya. Anak kecil itupun sedang mencari bakatnya. Dia sudah menemui itu.
Tapi orang lain tetap saja menganggap hal itu remeh, temeh, biasa, dan merasa
hal itu tidak pantas untuk di ketahui. Untuk di pelajari. Padahal belum tentu mereka
bisa membuatnya ataupun melakukannya. Walaupun anak kecil itu di acuhkan. Tetap
dia ingin membuktikan bahwa dia tidak seperti orang-orang kebanyakan. Anak
kecil itu lalu melamun. Dalam kesendiriannya. Dia merasa tidak di butuhkan.
Bagaimana bisa orang yang tidak melakukan apapun bisa di perhatikan banyak
orang. Kebanyakan seperti memilih tanpa ada dasar. Cuma untuk kesenangan tanpa
memikirkan orang lain yang sebenarnya lebih layak di perhatikan. Sementara anak
kecil itu merasa dirinya layak untuk di perhatikan. Tapi dia juga sadar dan
tahu. Bahwa orang tuanya saja yang sering memperhatikannya ketimbang orang kebanyakan.
Di saat dia termenung. Dia melihat anak yang seumuran dengannya
melintas di depannya.
“hai, mau main denganku” ajak anak kecil yang murung tadi
“maaf ya, tapi aku mau main bola di lapangan sana. Kamu kalau mau
ikut, ikut aja ke sana”
Lalu anak yang melintas tadi pergi. Sedangkan anak kecil yang
murung tadi semakin tersendiri dan tersingkir. Dia tak memiliki daya tarik
apapun untuk mengikat orang lain. Rasanya hampa dan mencekam. Seakan dia di
takdirkan hanya jadi pengikut saja.
Anak kecil yang
bosan menunggu itu mulai berjalan meninggalkan pos kamling. Kakinya melangkah
namun dia tak tahu mau kemana. Yang penting melangkah saja. dia melihat teman
sebayanya bermain, bergembira dan bersenang-senang. Di acuhkan saja sambil
terus berjalan. Menurutnya, tidak seru jika bukan dia yang jadi tokohnya. Dalam
pikirannya, sesuatu yang hanya mengikut saja itu membosankan. Dia ingin yang
memimpin dan membentuk. Dia tidak ingin menjadi biasa dan di perintah oleh
anak-anak lain. “itu sama saja perbudakan” katanya dalam hati. Semenjak itu dia
menyendiri dan mencari orang lain yang mau memperhatikan dan mengakuinya.
Sayangnya belum ada.
Hidupnya merasa
sendiri. Meski ada banyak manusia di dunia ini. Semua seakan tak melihatnya
sama sekali. Bagaimana dia terjebak dalam realita. Yang terus berjalan
meninggalkan apa yang diinginkannya. Juga meniggalkan yang menjadi tujuannya.
Semua semu, akhirnya pupus dan terdeformasi antara kenyataan satu dengan yang
lainnya. Hal itu tidak sesuai yang anak kecil itu bayangkan. Dia mengamati tapi
tidak realistis.
“adakah tempat untukku. Meski aku berdiri di depan. Meski nantinya
aku berkerumun bersama mereka. Akankah aku di perhatikan? Setidaknya ada yang
mengakui keberadaan ku. Apakah usahaku Cuma sia-sia belaka. Di saat otoritas
yang berkuasa. Segala sesuatu yang datang dengan penuh kejutan. Mungkinkah
membuatku menjadi patokan banyak orang?”
Tidak, belum tentu. Banyak orang yang ingin di perhatikan. Anak
kecil itu hanyalah satu dari milyaran orang yang juga sama ingin di perhatikan.
Hanya saja ada yang kesampaian. Namun kebanyakan gagal dan jadi orang biasa
saja.
“ini tidak adil!” batinnya menjerit menggerogoti tubuhnya yang
memanas oleh amarah. Tanpa sadar anak kecil itu menangis. Dia berlari kerumah
dan memeluk ibunya. Anak kecil itu merengek. Ibu itu lalu mengelus rambut
anaknya sambil menanyakan apa yang membuat dia menangis. Tapi anak kecil itu
cuma menggeleng dan masih tetap menangis. Sang ibu mulai kebingungan dan
mendudukkannya di kursi. Lalu membuat segelas susu kental manis agar anaknya
diam. Beberapa saat memang berefek. Anak kecil itu berhenti menangis. Ibupun
melanjutkan menyapunya yang belum selesai. Anak kecil itu masih terdiam.
Tatapannya kosong mengarah ke depan. Jam dinding berdenting menunjuk angka demi
angka. Dingin mulai menyelinap ke sela-sela kakinya. Dia gemetaran. Derum mobil
terdengar di jalanan. Rasa dingin mulai meraba sampai ke perut. Seluruh organ
anak kecil itu seperti tidak berfungsi. Tangan dan bibirnya mulai memutih. Ibu
tidak begitu memperhatikan karena sedang menyapu teras. Setelah selesai dan
membuang sampah. Dia masuk ke dalam rumah. Gelas susu yang diminum anaknya
jatuh ke lantai dan mengeluarkan bau tak sedap. Namun ibu tak memperhatikan
susu tersebut. Malainkan anaknya yang sudah tidak bernafas.
29 Agustus 2014
M H A
0 komentar:
Posting Komentar