Rabu, 07 Agustus 2019

Kumpulan Cerpen ; Jum'at




Hari ini adalah hari jum’at. Hari yang diberkahi, hari yang dinanti, dimana digadang-gadang menjadi hari terbaik dalam seminggu bagi umat Islam. Goyangan rumput yang berbeda, getaran ranting yang berbeda, bahkan tanah-tanah berkumpul mengeluarkan zat yang berbeda. Semua sibuk, berkumpul, berkelana mencoba memakmurkan hari itu.

Tanda yang sangat tampak bagi manusia adalah dengan hadirnya sholat Jum’at. Siang ini alhamdulillah aku sudah melaksanakannya dengan lancar. Makmum Masjid penuh sesak sampai muntah ke jalanan. Ada yang sampai rela sajadahnya lusuh untuk menjadi tumpuan kepalanya agar tidak rusuh terkena tanah jalanan. Rela mendengarkan berbagai ceramah walau terik siang begitu panas – meski ada juga yang sengaja datang belakangan untuk menghindari khutbah.

Saya senang, penduduk ini sangat taat dan antusias melaksanakan sholat jum’at. Begitu pun sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Mereka berbondong-bondong keluar dari rumahnya. Rela meninggalkan apapun, rela berbersih diri, mengenakan parfum serta pakaian terbaik. Andai saja sholat lima waktu mereka lakukan dimikian, sudah barang tentu mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara di dunia dan di akhirat. Namun apa daya. Selama ini, subuh di kampung hanya ada aku, Muadzin, serta Imam saja yang melaksanakan sholat itu. semua menghilang, pergi, tak peduli.

Di hari Jum’at, ada tuntunan yang menganjurkan untuk membaca surat al kahfi. Banyak keutamaan yang dapat di peroleh yakni akan diberikan Hikmah cahaya serta dilindungi dari Fitnah Dajjal. Meski tahu manfaat yang besar itu, namun sore ini aku belum membaca satu ayatpun dari surat al-kahfi. Apa karena sudah merasa cukup dengan al kahfi minggu-minggu sebelumnya yang telah di selesaikan? Untuk itu menjadi alasan utamaku tidak membaca surat al-kahfi pada minggu ini.

Mungkin mereka yang pergi kemasjid hanya sebatas sholat Jum’at, Idul Fitri, dan Idul Adha juga memiliki pemikiran yang sama. Buat apa sholat lima waktu? Toh yang penting sudah mewakili sholat untuk seminggu (sholat Jum’at) sudah mewakili untuk sholat selama setahun (Idul Fitri dan Idul Adha).

            Apakah hanya sebatas itu? Pemikiran macam apa itu, apakah pantas merasa aman dengan beberapa sholat yang diyakini menutupi sholat-sholat lain yang ditinggalkan? Ibarat mencoba menambal susunan puzzle dengan satu buah bagiannya saja. Mustahil.

“PAK RT!”
Aku melengok ke belakang, melihat Supardi berlari kecil menuju ke arahku
 “ada apa?” tanyaku
“Listrik kita mati pak, udah enam jam ga nyala-nyala”
“yang sabar, pakai dulu Gandset”
“udah pak, itu hanya bertahan lima jam, tadi ada isu kalau pemadaman ini bisa sampai 18 jam”
“ah masa’”
“beneran pak, PLN nya lagi kena kendala, padahal hari ini aja bakal ada tiga orang yang mantu bikin acara hajatan”
“ya sudah, nanti siap-siap kamu siapin tiga Gandset, bilang ke warga juga suruh hemat air. Kalau abis nanti mereka juga yang repot”
“Siap Laksanakan”

Iapun pergi, rombongan manusia sedang berjalan pulang dari Masjid, menuju ke rumah masing-masing. Beberapa orang mengajak salaman, mengobrol santai ngalur ngidul membahas permasalahan listrik yang tak kunjung menyala, sambil menunggu tiba di rumah masing-masing.
***

            Apa yang sebenarnya dicari di hari jum’at Hari yang katanya penuh berkah, penuh hikmah, namun aku masih merasakan hari Jum’at tidak ada bedanya dengan hari lainnya. yang memedakan hanya sholat dzuhur diganti sholat jum’at tak lebih. Apakah yang lain juga merasa demikian. Pikirku mencoba serasi dengan pikiran banyak orang. Lihatlah anak-anak yang bermain seperti biasanya. Langit cerah seperti biasa. Udara panas seperti biasa. Aspal berlubang seperti biasa. Bapak-bapak menyiapkan alat hajatan seperti biasa. Tak ada yang berubah. Orang-orangnya juga sama taka da yang berubah. Lantas apa yang membuat hari Jum’at begitu special ketimbang hari lain?

Justru yang paling mengena dalam seminggu itu hari minggu. Yang dulu namanya ahad – entah kenapa sekarang berganti minggu. Tapi jujur orang-orang banyak yang menantikan hari minggu ketimbang hari jum’at. Alasannya libur. Libur adalah pertanda berkah karena bisa merehatkan diri dari aktifitas setelah seminggu bekerja.

            Harusnya hari jum’at lah yang patut ditunggu-tunggu. Namun manusia sudah kadung kepincut dunia sehingga lebih menantikan hari minggu sebagai tujuan utama dari 7 hari dalam seminggu. Nah untuk nama yang mewakili 7 hari aja Namanya seminggu. Kenapa ga sejum’at? Itu sudah termasuk bentuk keeksekutifan hari bernama ‘minggu!’ Mengapa hari harus diawali senin? Dan berakhir di hari minggu sebagai finish hari yang di nantikan? Bukan malah patokan akhrnya hari jum’at dan hari sabtu jadi hari awal? Bukankah sama saja? bukankah Cuma membolak-balikkan hari itu apa susahnya?

“SUSAH!”
“lho kok bisa. Kenapa bisa begitu?”
“kalo dilogiskan memang mudah, Cuma realisasinya ga akan semudah itu” jawab teman sejawatku yang kini sudah menjadi gubernur. “hal ini bisa menjadi tanda kericuhan, karena kita keluar dari sistem wajar yang telah membentuk kita selama puluhan tahun. Selain itu, jika kita menggunakan hari Jum’at sebagai patokan, secara otomatis kita bakal melawan otonomi dunia yang sudah  mem-fix-kan hari mingggu sebagai patokan akhir. Nanti kita malah di cap sebagai negara yang nyeleneh, nyeleweng, dan tidak wajar”
“justru kita harus berani tampil beda. Kita Harusnya sadar dengan masyarakat kita yang dominan muslim. Kita harus berani buat sistem itu sendiri, merubah sedikit Sistem apa masalahnya? Toh tujuan utamanya hanya menjadikan hari jum’at sebagai hari yang dinanti2”
“benar, tapi sayangnya rutinitas itu sulit di ubah. Sistem pakem itu sulit di hapus. Kalau kamu mau coba aja atur itu di desamu dulu. Jangan langsung menghubungi president atau demo di istana. Walhasil kamu malah diciduk pakpol nanti”

            Aku menerima usulannya. Dalam sebuah pertemuan besar warga kampung, aku memberikan taklimat agar rakyat dan seluruh warga libur di hari jum’at. Segala instansi di desa itu aku atur sedemikian rupa supaya segala hal termasuk tanggal merah berada di hari jum’at. Hari minggu yang biasanya ada di pojok kanan kalender di ganti jum’at dan menjadikan hari sabtu menggantikan posisi hari senin yang biasa di pojok kiri kalender.

“dengan ini saya deklarasikan bahwasanya hari dalam tujuh hari itu bukan lagi dinamakan seminggu, tapi sejum’at”

Sorak dari para penduduk begitu ramai. Mereka seperti merasa termerdekakan untuk kedua kalinya. Merasa Bahagia dengan perubahan ini. Ada yang menangis haru, tertawa senang, dan ada juga yang tak peduli dan asal tepuk tangan saja. Dengan perubahan ini di harapkan secara tidak langsung membuat para warga tidak lagi menanti-nantikan hari minggu. Tapi mulai beralih menantikan hari jumat.

“perubahan itu perlu, memang ga bisa langsung membuat mereka senang dengan hari jum’at. Jadinya kita buat dulu agar mereka tertarik dengan hadirnya libur pada hari itu. nanti perlahan-lahan secara bertahap kita sadarkan esensi hari Jum’at dan pentingnya hari Jum’at, sehingga mereka bakal sedikit demi sedikit paham. Dan menjadikan hari jum’at tidak seperti hari-hari yang lainnya”
“kau yakin dengan itu?”
“tentu. Lha wong hari ahad yang dulunya sering dipekikkan sekarang sekonyong-konyong bisa diganti minggu”


Jepara, August 3, 2019

M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar