Hari
ini adalah hari jum’at. Hari yang diberkahi, hari yang dinanti, dimana digadang-gadang
menjadi hari terbaik dalam seminggu bagi umat Islam. Goyangan rumput yang
berbeda, getaran ranting yang berbeda, bahkan tanah-tanah berkumpul
mengeluarkan zat yang berbeda. Semua sibuk, berkumpul, berkelana mencoba
memakmurkan hari itu.
Tanda
yang sangat tampak bagi manusia adalah dengan hadirnya sholat Jum’at. Siang ini
alhamdulillah aku sudah melaksanakannya dengan lancar. Makmum Masjid penuh
sesak sampai muntah ke jalanan. Ada yang sampai rela sajadahnya lusuh untuk menjadi
tumpuan kepalanya agar tidak rusuh terkena tanah jalanan. Rela mendengarkan
berbagai ceramah walau terik siang begitu panas – meski ada juga yang sengaja
datang belakangan untuk menghindari khutbah.
Saya
senang, penduduk ini sangat taat dan antusias melaksanakan sholat jum’at. Begitu
pun sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Mereka berbondong-bondong keluar dari
rumahnya. Rela meninggalkan apapun, rela berbersih diri, mengenakan parfum
serta pakaian terbaik. Andai saja sholat lima waktu mereka lakukan dimikian,
sudah barang tentu mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara di dunia
dan di akhirat. Namun apa daya. Selama ini, subuh di kampung hanya ada aku,
Muadzin, serta Imam saja yang melaksanakan sholat itu. semua menghilang, pergi,
tak peduli.
Di
hari Jum’at, ada tuntunan yang menganjurkan untuk membaca surat al kahfi. Banyak
keutamaan yang dapat di peroleh yakni akan diberikan Hikmah cahaya serta dilindungi
dari Fitnah Dajjal. Meski tahu manfaat yang besar itu, namun sore ini aku belum
membaca satu ayatpun dari surat al-kahfi. Apa karena sudah merasa cukup dengan
al kahfi minggu-minggu sebelumnya yang telah di selesaikan? Untuk itu menjadi
alasan utamaku tidak membaca surat al-kahfi pada minggu ini.
Mungkin
mereka yang pergi kemasjid hanya sebatas sholat Jum’at, Idul Fitri, dan Idul
Adha juga memiliki pemikiran yang sama. Buat apa sholat lima waktu? Toh yang
penting sudah mewakili sholat untuk seminggu (sholat Jum’at) sudah mewakili
untuk sholat selama setahun (Idul Fitri dan Idul Adha).
Apakah hanya sebatas itu? Pemikiran
macam apa itu, apakah pantas merasa aman dengan beberapa sholat yang diyakini
menutupi sholat-sholat lain yang ditinggalkan? Ibarat mencoba menambal susunan puzzle
dengan satu buah bagiannya saja. Mustahil.
“PAK
RT!”
Aku
melengok ke belakang, melihat Supardi berlari kecil menuju ke arahku
“ada apa?” tanyaku
“Listrik
kita mati pak, udah enam jam ga nyala-nyala”
“yang
sabar, pakai dulu Gandset”
“udah
pak, itu hanya bertahan lima jam, tadi ada isu kalau pemadaman ini bisa sampai
18 jam”
“ah
masa’”
“beneran
pak, PLN nya lagi kena kendala, padahal hari ini aja bakal ada tiga orang yang
mantu bikin acara hajatan”
“ya
sudah, nanti siap-siap kamu siapin tiga Gandset, bilang ke warga juga suruh
hemat air. Kalau abis nanti mereka juga yang repot”
“Siap
Laksanakan”
Iapun
pergi, rombongan manusia sedang berjalan pulang dari Masjid, menuju ke rumah
masing-masing. Beberapa orang mengajak salaman, mengobrol santai ngalur ngidul
membahas permasalahan listrik yang tak kunjung menyala, sambil menunggu tiba di
rumah masing-masing.
***
Apa yang sebenarnya dicari di hari
jum’at Hari yang katanya penuh berkah, penuh hikmah, namun aku masih merasakan
hari Jum’at tidak ada bedanya dengan hari lainnya. yang memedakan hanya sholat
dzuhur diganti sholat jum’at tak lebih. Apakah yang lain juga merasa demikian.
Pikirku mencoba serasi dengan pikiran banyak orang. Lihatlah anak-anak yang
bermain seperti biasanya. Langit cerah seperti biasa. Udara panas seperti
biasa. Aspal berlubang seperti biasa. Bapak-bapak menyiapkan alat hajatan
seperti biasa. Tak ada yang berubah. Orang-orangnya juga sama taka da yang
berubah. Lantas apa yang membuat hari Jum’at begitu special ketimbang hari
lain?
Justru
yang paling mengena dalam seminggu itu hari minggu. Yang dulu namanya ahad –
entah kenapa sekarang berganti minggu. Tapi jujur orang-orang banyak yang
menantikan hari minggu ketimbang hari jum’at. Alasannya libur. Libur adalah
pertanda berkah karena bisa merehatkan diri dari aktifitas setelah seminggu
bekerja.
Harusnya hari jum’at lah yang patut
ditunggu-tunggu. Namun manusia sudah kadung kepincut dunia sehingga lebih
menantikan hari minggu sebagai tujuan utama dari 7 hari dalam seminggu. Nah
untuk nama yang mewakili 7 hari aja Namanya seminggu. Kenapa ga sejum’at? Itu sudah
termasuk bentuk keeksekutifan hari bernama ‘minggu!’ Mengapa hari harus diawali
senin? Dan berakhir di hari minggu sebagai finish hari yang di nantikan? Bukan
malah patokan akhrnya hari jum’at dan hari sabtu jadi hari awal? Bukankah sama
saja? bukankah Cuma membolak-balikkan hari itu apa susahnya?
“SUSAH!”
“lho
kok bisa. Kenapa bisa begitu?”
“kalo
dilogiskan memang mudah, Cuma realisasinya ga akan semudah itu” jawab teman
sejawatku yang kini sudah menjadi gubernur. “hal ini bisa menjadi tanda
kericuhan, karena kita keluar dari sistem wajar yang telah membentuk kita
selama puluhan tahun. Selain itu, jika kita menggunakan hari Jum’at sebagai
patokan, secara otomatis kita bakal melawan otonomi dunia yang sudah mem-fix-kan hari mingggu sebagai patokan
akhir. Nanti kita malah di cap sebagai negara yang nyeleneh, nyeleweng, dan
tidak wajar”
“justru
kita harus berani tampil beda. Kita Harusnya sadar dengan masyarakat kita yang
dominan muslim. Kita harus berani buat sistem itu sendiri, merubah sedikit Sistem
apa masalahnya? Toh tujuan utamanya hanya menjadikan hari jum’at sebagai hari yang
dinanti2”
“benar,
tapi sayangnya rutinitas itu sulit di ubah. Sistem pakem itu sulit di hapus.
Kalau kamu mau coba aja atur itu di desamu dulu. Jangan langsung menghubungi president
atau demo di istana. Walhasil kamu malah diciduk pakpol nanti”
Aku menerima usulannya. Dalam sebuah
pertemuan besar warga kampung, aku memberikan taklimat agar rakyat dan seluruh
warga libur di hari jum’at. Segala instansi di desa itu aku atur sedemikian
rupa supaya segala hal termasuk tanggal merah berada di hari jum’at. Hari
minggu yang biasanya ada di pojok kanan kalender di ganti jum’at dan menjadikan
hari sabtu menggantikan posisi hari senin yang biasa di pojok kiri kalender.
“dengan
ini saya deklarasikan bahwasanya hari dalam tujuh hari itu bukan lagi dinamakan
seminggu, tapi sejum’at”
Sorak
dari para penduduk begitu ramai. Mereka seperti merasa termerdekakan untuk
kedua kalinya. Merasa Bahagia dengan perubahan ini. Ada yang menangis haru,
tertawa senang, dan ada juga yang tak peduli dan asal tepuk tangan saja. Dengan
perubahan ini di harapkan secara tidak langsung membuat para warga tidak lagi
menanti-nantikan hari minggu. Tapi mulai beralih menantikan hari jumat.
“perubahan
itu perlu, memang ga bisa langsung membuat mereka senang dengan hari jum’at. Jadinya
kita buat dulu agar mereka tertarik dengan hadirnya libur pada hari itu. nanti
perlahan-lahan secara bertahap kita sadarkan esensi hari Jum’at dan pentingnya
hari Jum’at, sehingga mereka bakal sedikit demi sedikit paham. Dan menjadikan
hari jum’at tidak seperti hari-hari yang lainnya”
“kau
yakin dengan itu?”
“tentu.
Lha wong hari ahad yang dulunya sering dipekikkan sekarang sekonyong-konyong
bisa diganti minggu”
Jepara,
August 3, 2019
M H A
0 komentar:
Posting Komentar