Sabtu, 27 Juli 2019

Kumpulan Cerpen ; Perubah



Peluh mengalir deras melingkupi tubuh. Siang begitu terik, menghasilkan bau prengus yang membuat tiap wanita ayu menjauh, adek-adek kecil berlari, anjing dan kucing merajuk. Menolak keberadaan si bau busuk yang tak enak dilihat, di cium, maupun di rasakan keberadaannya.

Anak kecil itu menanggapinya dengan senyuman. Menyabuti rumput liar yang tumbuh di sepanjang trotoar, menjumputi sampah-sampah yang berceceran di sepanjang jalan, lalu sorenya pergi ke kali untuk membersihkan sampah plastik yang biasa di buang disana. Semua dia lakukan dengan ketabahan, kegigihan, dan rasa Ikhlas. Malu? Untuk apa. Dia melakukan hal itu karena sadar tak bisa melakukan apapun. Tak punya niatan apalagi bermimpi untuk menjadi besar dan melakukan perubahan besar. Untuk itu dirinya hanya melakukan apa yang sekiranya mampu di lakukan. Mengumpulkan tekad untuk turun tangan mengatasi masalah lingkungan yang sering di abaikan banyak orang. sebuah pekerjaan simpel nan sepele, namun tidak mampu di selesaikan oleh orang-orang di sekitarnya.

Semua menginginkan perubahan, termasuk juga anak kecil itu. Seorang anak kecil krempeng, berbadan kecil, dan dekil. Banyak tatapan selalu menghindarinya, takut jika anak kecil itu mendekat ikut nongki bersamanya, takut kalau nanti diajak komunikasi dan takut kalau malah jadi temannya. Anak kecil itu sadar, dirinya sama sekali tak menarik. Di sekolah selalu di abaikan, tak berarti, dan tak pernah di gubris. Namun anak kecil itu tak merasa rendah diri. Meski tak menarik, toh fisiknya kuat untuk bekerja kesana-sini. Walhasil dia bekerja, berusaha mengerjakan apa yang dia bisa. Mencoba merubah dari aspek bagian paling kecil, mulai dari dirinya, lingkungannya, berusaha merubah semua hal yang sering di abaikan banyak orang.

“kenapa negara ini tak bisa berubah?” sahut ketua osis kala itu. Kerumunan itu diisi oleh para organisator terpilih dari sekian banyaknya murid di sekolah ini. Para wanita ayu berlomba-lomba memasang pose manis agar sang ketua osis memperhatikan mereka.
“lihat jepang mereka sudah di bom, namun sekarang berhasil menjadi negara kaya di asia. Lihatlah korea selatan, yang pada awal tahun 70han Cuma sanggup mengimpor rambut, sekarang sudah menjadi negara besar dengan para oppa yang sudah terkenal di seluruh dunia”
“kita ini negara besar, sumber dayanya banyak, masak kita kalah dengan mereka yang negara kecil bahkan sumber dayanya sedikit?” sahut sang ketua osis menggebu-gebu. Disusul tepuk tangan meriah dari para anggota. Bahkan guru-guru gedek-gedek kepala melihat betapa hebatnya orasi ketua osis yang sanggup memantik semangat para anggota.

            Sang anak kecil tadi hanya bisa melihat event meriah itu dari kejauhan. Dia tidak masuk osis. Bukan karena tidak ingin masuk, tapi karena di tolak masuk. Dirinya memang agak gugup ketika di wawancara, berbicara alakadarnya sehingga sang pewawancara menganggapnya tidak bisa bersosialisasi dan akan susah berkembang di organisasi. Alhasil anak kecil itu tidak di luluskan. Berbeda dengan teman sebelahnya yang bisa melakukan improvisasi. Melebihkan segala apa yang dimiliki mengenai potensi kemahiran serta sosialiasinya.

            Sang anak kecil hanya bisa terpaku. Betapa hebatnya menjadi seorang osis. Bisa mempengaruhi begitu banyak manusia, bisa mengarahkan para manusia untuk bergerak menyongsong perubahan. Bisa terlihat dari reaksi para anggota itu begitu semangat. Mereka sama-sama sepakat untuk mengongsong perubahan untuk bangsa. Namun disitu sang anak kecil tadi kebingungan. Setelah orasi selesai. Mereka bubar dan menuju ke kehidupannya masing-masing. Rumput lapangan yang tak terurus dibiarkan, paving-paving yang sudah mengelupas dan rusak hanya sekedar dilangkahi, lapangan yang tidak rata itu di abaikan.

“Apakah ini salah satu bentuk perubahan? Atau perubahan besar itu taka da hubungannya dengan perubahan yang ada di lingkungan sekitar. Ataukah malasah ini begitu sepele sehingga membuat mereka merasa tak perlu menyelesaikan permasalahan ini?” pikir anak kecil itu.

            Anak itu bingung, tadinya dia mendengar segala kata perubahan baik mental, mindset, maupun segala tetek bengek lainnya untuk menyongsong perubahan. Namun selekas orasi berapi-api itu para eksekutif malah menghilang bak ditelan bumi. Bermain dengan koloni. Berjalan menapaki hidup seperti biasa. Tak ada perbuatan. Tak ada perubahan. Agenda hanya sebatas agenda, tak menimbulkan perubahan yang berkelanjutan. Bukankah perubahan itu bisa dimulai dari hal yang paling mendasar. Untuk apa berpikir besar tapi realisasi kecil saja tidak ada?

“Dimanakah perubahan itu?” tanya si anak kecil pada ketua osis.
“sabar, perubahan besar itu tidak datang sekejab mata. Perlu proses. Kalau kamu kurang sabar, ya Namanya kamu tidak menghargai proses. Makanya belajar yang pinter dulu, buat prestasi, jangan Cuma nganggur. Jangan Cuma menanti hasil. Makanya Indonesia ga maju-maju. Berbuat untuk menyongsong perubahan, jangan Cuma plonga-plongo aja” anak kecil itu malah yang kena ceramah oleh ketua osis.

Anak kecil itu termenung kembali semenjak terkena makian ketua osis. Ya ketua osis benar, dia harus meningkatkan kapasitasnya. Namun itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Bukankah mereka melihat sekolah ini harus segera dibenahi, harus segera diperbaiki? Mengapa harus menuju yang besar sedangkan kerikil di pelupuk mata tidak disingkirkan.

“bukankah perubahan yang besar berawal dari perubahan yang kecil? yang biasa orang sepelekan? Mengapa selalu melihat yang besar? Pantas saja banyak orang selalu menyerah dan tak kuat berjuang karena tak sanggup membuat perubahan besar. Padahal mereka bisa melatih diri di perubahan kecil yang biasa di temui setiap hari” batinnya. Anak kecil itu tidak ingin berdebat dengan para eksekutif itu lagi. Dirinya sadar kemampuan komunikasinya lemah, otomatis dia bakal kalah dan malah menjadi bahan bulian disana.

            Pagi itu, matahari belum sepenuhnya terlihat. Langit masih berwarna putih dengan angin dingin yang menerpa kulit. Sekolah masih belum buka. Dan sekitar satu jam anak itu memiliki waktu longgar disini.

“Apa yang hendak dilakukan anak itu?” Tanya sang jangkrik. Seekor binatang yang sedang hinggap di salah satu rumput lapangan. Jangkrik itu tak pernah sekalipun melihat seorang menyabuti dan menata rumput di lapangan ini selama dua bulan keberjalanan hidupnya. Bahkan kakek dari sang kakek jangkrik pun menceritakan bahwa lapangan ini masih ajeg selama seratus generasi keberjanan jangkrik di tempat ini.
“tumben ada yang mau kerja, biasanya nih lapangan terbengkalai kayak ampas” kata belalang. Hinggap di rerumputan dekat jangkrik berada.
“mereka mungkin akhirnya pada sadar, masak mereka ya ngga peka melihat lingkungannya amburadul kayak gini” sahut si jangkrik.

            Anak itu mencabuti rumput satu persatu, menata paving yang amburadul, membersihkan sampah plastik disana-sini. Menanam dan menyirami rumput. Menambal lubang serta memangkas tanah yang jendul. Setelah satu jam berlalu, dia stop kerjanya. Sisa kerja yang akan di lanjutkan di hari-hari selanjutnya.
***


            “BERITA HEBOH!” Jerit Pelatih sepakbola Sekolah, langsung nyelonong dan menjerit di ruang guru.

“gimana pak Joni? Sekolah kita kalah lagi?”
“Bukan!”
“banyak siswa kita cidera gara-gara lapangan jelek?”
“Bukan!”
“lha apa, cepet ngomong! Jangan buat saya menunggu”
“itu, lapangan kita!”
“kenapa lapangannya?”
“sekarang sudah kayak stadion di GBK, rumput, paving, tanahnya semua bagus seperti baru!” lapornya.
“AJAIB. KOK BISA!” kata sang guru sangat terpukau.



Sabtu, 27 July 2019

M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar