Manusia yang
hidup di dunia dituntut untuk sanggup keluar dari berbagai macam masalah. Manusia
justru memandanga sebuah cobaan maupun masalah hidup itu sebagai sebuah
kejadian yang tidak mengenakkan dan harus dihindari. Merasa pesimis dan tak
percaya diri dengan diri ketika masalah itu datang menghampiri. Takut-takut semisal mereka gagal, takut salah,
takut tindakan mereka menyalahi aturan, takut sakit, serta tak mempercayai
dengan kemampuan yang diberikan tuhan kepada mereka. Mereka tak memiliki upaya
menghadapi cobaan dan larut dalam suasana baper. Tak ayal sedikit orang yang maju
dan banyak orang menggalau tiada henti meratapi nasibnya sendiri. Mereka tak
bisa belajar, tak mampu untuk berfikir. Sehingga membuat mereka semakin
terpuruk dari hari kehari. Membuat mereka tak pernah maju dan selalu terkurung
dalam Comfort Zone nya masing-masing.
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah
beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS.
29:2)
Esensi dari
cobaan dan masalah yang menduru kita adalah sebagai ajang dari optimalisasi
diri. Untuk membuat diri semakin kuat, semakin terlatih dan tidak lembek kek
ndok dadar. Untuk menjadi seorang yang kuat, tentu memerlukan proses Panjang nan
ribet. Tidak serta merta jadi atau tujuan kita tercapai begitu saja. semua
perlu di usahakan. Salah satu dampak usaha dari hasil tujuan kita yakni bernama
masalah.
Masalah hadir
untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik. Namun pada kenyataannya
manusia memang makhluk yang sangat egois – Pengen enaknya saja. mereka berkhayal
tinggi, berharap saban hari untuk sukses di kemudian hari. namun usaha mereka
hanya sebatas start kemudian hilang di terpa angin. Tak ada perubahan,
yang ada malah penyesalan, rasa malas, serta tak henti-hentinya mengumpat
keadaan. Merasa sebuah kegagalan adalah akhir dari segalanya. Menganggap segala
macam usahanya itu sia-sia belaka.
Banyak
orang Berusaha menghindar dan meringkuk dalam kehidupan. Selalu menghindari
masalah justru akan menembah beban itu sendiri. Karena masalah tak akan hilang
dengan cara dihindari. Justru masalah itu akan tetap tersimpan hingga
menggunung. Bukankah Allah sudah berpesan bahwasanya manusia itu diuji sesuai
dengan batas kemampuannya.
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2:286)
Namun manusia
selalu saja menyerah sebelum sempat mengeluarkan potensi terbaiknya. Untuk itulah
mereka tidak bisa berkembang. Dan ketika mereka sadar diri mereka biasa-biasa
saja. mereka malah menyalahkan nasib, menyalahkan keadaan, menyalahkan semua
yang taka da hubungannya dengan masalahnya. Padahal kenyataan masalah yang
paling besar berawal dari dirinya sendiri. Dia tak sadar itu. karena itulah
manusia, mereka tak mau di persalahkan. Sehingga walhasil mereka menjadi
manusia yang selalu merasa tak puas, merasa tak berguna hidup, selalu memprotes,
selalu jadi bad society.
Pemikiran
seperti apa yang mendasari manusia sebegitu takutnya dengan masalah? Berifikir
untuk sebisa mungkin meminimalkan masalah dalam hidupnya. Tak ingin mengambil
resiko lebih besar dari apa yang kiranya mereka sanggupi. Padahal nyatanya
mereka masih bisa lebih. Namun sudah puas dengan diri mereka yang standar. Tidak
ingin maju lebih jauh karena takut menanti rintangan yang lebih berat ke depan.
sejak kapan mental ini terbangun? Menghindari masalah bukan perkara untung,
justru malah buntung.
Aspek yang
harus diperhatikan adalah mengenai hati dan ruhani dalam diri. Saat ini sudah
banyak dari mereka yang sangat mendewakan ilmu, mendewakan sistem, mendewakan
segala macam hal yang di buat manusia. Dan ketika mereka kehilangan itu mereka
merasa sangat hampa. Apa gerangan? Ternyata faktor utama terdapat di ruhani. Yang
mengubah mindset dan cara pandang manusia itu sendiri. Terlalu duniawi sehingga
mereka tak pernah percaya dengan adanya alam lain. Mereka tak sadar telah
kehilangan jiwa yang menyambung kepada sang pencipta. Rasa arogan kepada segala
macam yang bersifat materialistic menghilangkan pandangan murni mereka
pada sesuatu yang bersifat absurd.
Tak heran
banyak sekali terjadi kerusakan dan degradasi moral di lingkungan kita. Salah satu
sebabnya ialah jauhnya orang itu dari agama. Jarang saya lihat seorang
yang taat mengalami depresi serta melakukan penyimpangan moral dan sosial. Justru
mereka yang tak bisa mendalami kehidupan hanya sebatas melihat sampul hidupnya
saja. Sejatinya isi nya mereka tak mampu lihat. kendati dimikian, itulah yang
membuat mereka menjadi terombang-ambing. Dan ketika masalah menerpa, mereka kehilangan
arah, menganggap diri mereka tak berarti, tak ada pegangan dan seorang yang membantu.
“Dan
jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. 12:87)
Kuncinya adalah dari dalam diri,
buat dirimu tersambung kembali dengan sang pencipta. Hidup tidak hanya sebatas diisi dengan ilmu duniawi, karena sejatinya itu belum lengkap tanpa ilmu akhirat. Begitu
juga sebaliknya. Saling melengkapi adalah dasar dari alam semesta ini tercipta.
Laki-laki dan perempuan, siang dan malam, matahari dan bulan, api dan air. Hal itulah
yang menjadikan keseimbangan. Termasuk bagaimana kita bisa mengatur
keseimbangan diri ketika menghadapi sebuah masalah. Karena sejatinya masalah
hadir untuk meng-upgrade diri untuk menuju stage selanjutnya. Dan
ketika gagal, jangan langsung menyerah, bukankah kita masih hidup? Masih bernafas? masih bisa berfikir dan mencoba? Lantas apa yang membuat kita berhenti berjuang ketika kesempatan untuk merubah
itu masih ada? Pikirkan.
Wallahu'alam...
0 komentar:
Posting Komentar