Kamis, 25 Juli 2019

Upgrade diri itu bernama Masalah



Manusia yang hidup di dunia dituntut untuk sanggup keluar dari berbagai macam masalah. Manusia justru memandanga sebuah cobaan maupun masalah hidup itu sebagai sebuah kejadian yang tidak mengenakkan dan harus dihindari. Merasa pesimis dan tak percaya diri dengan diri ketika masalah itu datang menghampiri.  Takut-takut semisal mereka gagal, takut salah, takut tindakan mereka menyalahi aturan, takut sakit, serta tak mempercayai dengan kemampuan yang diberikan tuhan kepada mereka. Mereka tak memiliki upaya menghadapi cobaan dan larut dalam suasana baper. Tak ayal sedikit orang yang maju dan banyak orang menggalau tiada henti meratapi nasibnya sendiri. Mereka tak bisa belajar, tak mampu untuk berfikir. Sehingga membuat mereka semakin terpuruk dari hari kehari. Membuat mereka tak pernah maju dan selalu terkurung dalam Comfort Zone nya masing-masing.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. 29:2)

Esensi dari cobaan dan masalah yang menduru kita adalah sebagai ajang dari optimalisasi diri. Untuk membuat diri semakin kuat, semakin terlatih dan tidak lembek kek ndok dadar. Untuk menjadi seorang yang kuat, tentu memerlukan proses Panjang nan ribet. Tidak serta merta jadi atau tujuan kita tercapai begitu saja. semua perlu di usahakan. Salah satu dampak usaha dari hasil tujuan kita yakni bernama masalah.

Masalah hadir untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik. Namun pada kenyataannya manusia memang makhluk yang sangat egois – Pengen enaknya saja. mereka berkhayal tinggi, berharap saban hari untuk sukses di kemudian hari. namun usaha mereka hanya sebatas start kemudian hilang di terpa angin. Tak ada perubahan, yang ada malah penyesalan, rasa malas, serta tak henti-hentinya mengumpat keadaan. Merasa sebuah kegagalan adalah akhir dari segalanya. Menganggap segala macam usahanya itu sia-sia belaka.

Banyak orang Berusaha menghindar dan meringkuk dalam kehidupan. Selalu menghindari masalah justru akan menembah beban itu sendiri. Karena masalah tak akan hilang dengan cara dihindari. Justru masalah itu akan tetap tersimpan hingga menggunung. Bukankah Allah sudah berpesan bahwasanya manusia itu diuji sesuai dengan batas kemampuannya.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2:286)

Namun manusia selalu saja menyerah sebelum sempat mengeluarkan potensi terbaiknya. Untuk itulah mereka tidak bisa berkembang. Dan ketika mereka sadar diri mereka biasa-biasa saja. mereka malah menyalahkan nasib, menyalahkan keadaan, menyalahkan semua yang taka da hubungannya dengan masalahnya. Padahal kenyataan masalah yang paling besar berawal dari dirinya sendiri. Dia tak sadar itu. karena itulah manusia, mereka tak mau di persalahkan. Sehingga walhasil mereka menjadi manusia yang selalu merasa tak puas, merasa tak berguna hidup, selalu memprotes, selalu jadi bad society.

Pemikiran seperti apa yang mendasari manusia sebegitu takutnya dengan masalah? Berifikir untuk sebisa mungkin meminimalkan masalah dalam hidupnya. Tak ingin mengambil resiko lebih besar dari apa yang kiranya mereka sanggupi. Padahal nyatanya mereka masih bisa lebih. Namun sudah puas dengan diri mereka yang standar. Tidak ingin maju lebih jauh karena takut menanti rintangan yang lebih berat ke depan. sejak kapan mental ini terbangun? Menghindari masalah bukan perkara untung, justru malah buntung.

Aspek yang harus diperhatikan adalah mengenai hati dan ruhani dalam diri. Saat ini sudah banyak dari mereka yang sangat mendewakan ilmu, mendewakan sistem, mendewakan segala macam hal yang di buat manusia. Dan ketika mereka kehilangan itu mereka merasa sangat hampa. Apa gerangan? Ternyata faktor utama terdapat di ruhani. Yang mengubah mindset dan cara pandang manusia itu sendiri. Terlalu duniawi sehingga mereka tak pernah percaya dengan adanya alam lain. Mereka tak sadar telah kehilangan jiwa yang menyambung kepada sang pencipta. Rasa arogan kepada segala macam yang bersifat materialistic menghilangkan pandangan murni mereka pada sesuatu yang bersifat absurd.

Tak heran banyak sekali terjadi kerusakan dan degradasi moral di lingkungan kita. Salah satu sebabnya ialah jauhnya orang itu dari agama. Jarang saya lihat seorang yang taat mengalami depresi serta melakukan penyimpangan moral dan sosial. Justru mereka yang tak bisa mendalami kehidupan hanya sebatas melihat sampul hidupnya saja. Sejatinya isi nya mereka tak mampu lihat. kendati dimikian, itulah yang membuat mereka menjadi terombang-ambing. Dan ketika masalah menerpa, mereka kehilangan arah, menganggap diri mereka tak berarti, tak ada pegangan dan seorang yang membantu.

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. 12:87)

            Kuncinya adalah dari dalam diri, buat dirimu tersambung kembali dengan sang pencipta. Hidup tidak hanya sebatas diisi dengan ilmu duniawi, karena sejatinya itu belum lengkap tanpa ilmu akhirat. Begitu juga sebaliknya. Saling melengkapi adalah dasar dari alam semesta ini tercipta. Laki-laki dan perempuan, siang dan malam, matahari dan bulan, api dan air. Hal itulah yang menjadikan keseimbangan. Termasuk bagaimana kita bisa mengatur keseimbangan diri ketika menghadapi sebuah masalah. Karena sejatinya masalah hadir untuk meng-upgrade diri untuk menuju stage selanjutnya. Dan ketika gagal, jangan langsung menyerah, bukankah kita masih hidup? Masih bernafas? masih bisa berfikir dan mencoba? Lantas apa yang membuat kita berhenti berjuang ketika kesempatan untuk merubah itu masih ada? Pikirkan.


Wallahu'alam...

0 komentar:

Posting Komentar