Senin, 08 Juli 2019

Kumpulan Cerpen ; Sadar

https://wall.alphacoders.com


            Hari yang sulit. Betapa tidak. Dunia telah menjauh bagai magnet sama kutub. Bianglala melambai, menerpa wajahnya yang suram di kolong jembatan. Waktu terasa terhenti, membekukan jantungnya yang sudah bosan berdetak lagi.
“berakhir sudah” Jo merengek dalam kegelapan malam.  Hanya ada lampu jalanan berwarna kuning yang menerangi.

Semua sudah lenyap. Rumah tiada, istri minggat, anak-anaknya mati terkena penyakit. Jo tak sanggup membayar tebusan rumah sakit. Alhasil dengan sengaja meski sudah di rahasiakan. Pihak rumah sakit membikin mereka mati tanpa sepengetahuan Jo. Namun Jo tau. Sedih? Jelas. Tapi Dia tidak bisa berbuat apa-apa.

            Malam terasa dingin, baru kali ini dia merasakan tidur di alam liar. Sebelumnya ia sering tidur di mansion, ditemani seorang istri dengan kemul yang hangat. Namun malam ini terasa lain. segalanya hilang bagai debu ditiup angin. Segala penyesalan sudah tidak berguna. Jo hanya bisa meringkuk di emperan toko cino yang sudah tutup.

            Tak berselang lama, Jo merasakan marabahaya datang menghampiri. Lekas dia terbngun, melihat para gelandangan lari terbirit-birit menghindari sesuatu. Ternyata malam ini satpol PP sedang bertugas meringkus para gelandangan liar. Jo segera beranjak untuk kabur. Berusaha agar tidak tertangkap. Dengan segala upaya, dia akhirnya sukses kabur di sebuah gang kecil.

            Gelap, pengap, dan sempit. Segalanya semakin rumit karena banyak nyamuk di area itu. Jo tidak bisa protes, dia harus pasrah menerimanya. Barulah Dia sadar memang hidup kadang di bawah kadang di atas. Dan saat ini posisinya berada di bawah. Bersama dengan para kere, Bersama dengan tukang asongan, Bersama dengan pengemis dan peminta-minta, bersama dengan tukang pencari kayu bakar. Dia merasa kecil. segala kesombongannya sudah punah tak bersisa.

“Mengapa aku merasa sehina ini?” ratapnya walau dia tahu itu percuma. Mana mungkin tuhan akan mendengarnya dikala dahulu tak pernah menggubris tuhan. Selalu membantah dan sering menipu, menyuap, korupsi, serta perbuatan-perbuatan bejat yang lain. Tak pernah menjalankan perintah Nya. Selalu mendekat pada larangan Nya. Bahkan dia sampai beranggapan bahwa tuhan itu tidak ada. Tak percaya akan balasan di akhirat yang kelak akan menimpanya. Dan sekarang dengan segala kesusahan. Dia berani-beraninya memohon dan merengek meminta bantuan Tuhan?

“Hamba tahu bahwa diri ini bejat. Manusia yang tak tahu sopan santun. Hampa khilaf akan semua kesombongan hamba di masa lalu. Ampunilah hamba Tuhan” rintihnya. Dibalut air mata yang mengalir deras.

            Tak ada apapun. Semua masih terlihat seperti sedia kala. Tak ada yang berubah walau berkali-kali Jo merengek memohon ampun. Apakah doanya tidak didengar? Entahlah. Jo teringat bahwa doa itu tidak mesti langsung terkabul. Bahkan orang yang Ahli doa saja terkadang di balas saat di akhirat. Apalagi dirinya yang seorang bajingan.

“Pak” seseorang menepuk pundak Jo.
Jo gelapan dan bersiap cabut dari tempat. Namun orang yang membangunkan Jo segera menggeret baju kumal Jo.
“tu… tunggu dulu pak. saya bukan setan” jelasnya.
Jo segera menguasai dirinya. Dia barusan sedang bermimpi dikejar rentenir, dan dikira seorang yang tengah membangunkannya adalah rentenir yang sedang mencari-carinya.
“oalah Kere, eh pak kismin maksud saya” hampir saja sifat masa lalunya kambuh saat itu. “saya kira bapak tadi mau nangkep saya” Jo meringis sambil garuk-garuk kepala.
“ngapain pagi-pagi gini saya nangkep mas. Kurang kerjaan aja. Kecuali kalau bapak itu seorang buron dan saya ini rentenir” Candanya, dilengkapi dengan seringai yang menunjukkan gigi-gigi kuningnya.
Jo merasa khawatir karena candaan bapak tadi sangat mengena.
“ada perlu apa ya mas?” tanya Jo.
“anu pak. saya Cuma menghimbau kalau semisal bapak mau numpang tidur jangan disini. Ini tempat angker, takutnya bapak kenapa-napa”
Jo terperanjat. Dia berdiri tegap dan nafasnya mulai tak beraturan.
“yang bener pak?” tanya Jo sekali lagi memastikan.
Bapak berbaju keset itu mengangguk cepat. Tangannya terangkat sambil menunjuk pohon beringin yang tumbuh di pojok kanan tak jauh dari tempat itu “dulu sering ada penampakan disitu pak” bapak itu menunjuk sambil merinding. Segera dia mengemut jari telunjuknya. Takut terkena kutukan dan setan itu mampir ke rumahnya.
Jo menelan ludah. “makasih infonya pak. Saya bakal hati-hati lagi dan cari tempat lain”
“kemarin juga ada yang baru meninggal lo pak. Ibu-ibu gantung diri di pohon itu”
“yang bener?” Jo kembali kaget
Bapak itu mengangguk cepat “diduga ibu itu stress, melarikan diri dari rumah seorang saudagar kaya yang tiba-tiba bangkrut”
Jo kembali menelan ludah. Tak berani membayangkan siapa yang melakukan hal itu.

            Hari berlanjut. Kesedihan masih berlarut. Baru kali ini Jo mencari makan sisa, berjalan hilit mudik di tiap-tiap warung makan. Mencari beberapa makanan sisa yang tak habis di santap pelanggan. Sisa makanan itu ia makan dengan lahap. Tidak adarasa malu, karena dia tak akan bisa mendapatkan makanan apapun selain dari situ. Dia tak ingin mengemis kepada orang lain.
“Hamba memang pantas untuk di hukumlah hamba. Karena memang pendosa seperti hamba ini memang layak” rintihnya.

            Selama ini Jo dihantui dengan orang-orang yang tengah mencarinya. Jo menjadi buronan dan beberapa kali wajahnya terpampang di layer televisi. Untung saja dia selalu berjalan di pedalaman. Berjalan di jalan raya ketika malam tiba. Mencari makan, kencing semabrangan, meratap, adalah kegiatan sehari-hari selama menjadi buron.

            Hingga saatnya dirinya merasa capek. Tak kuasa menahan tindihan hidup yang berat ini. Tak kuasa menahan segala sakit yang sudah menggerus hatinya. Jo tak berdaya, Dunia ini sudah tidak berarti apapun, tidak seperti dulu dimana dirinya terbuai dan tak ingin meninggalkan dunia ini. Sekarang dirinya merasa ingin cepat-cepat mati.
“segerakanlah ya Tuhan. Hamba sudah tidak kuat lagi” pintanya.

Namun tak ada reaksi. Tak ada respon apapun. Seluruh doanya selama dia menjadi kere tak memiliki imbas yang berarti. Tak ada efek selain kesengsaraan dan keputusaan.
“apakah ini yang Namanya azab?” batinnya. Dia tak mau bunuh diri karena tahu jelas hukumnya bakal masuk neraka, sama saja menentang keputusan tuhan. Maka dari itu lebih baik dia menanti dengan sabar akan ajalnya. Siapa tahu dia masih memiliki presentase kesempatan masuk surga.



Jepara, 8 Juli 2019

M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar