Sabtu, 24 Agustus 2019

Kumpulan Cerpen; Potelot


            Malipun tak sengaja menemukan sebuah potelot di pinggiran jalan. Di ambil dan dilihatnya matang-matang potelot itu. Berwarna kuning, dan ada penghapus di ujung yang lainnya. Dia terpaku agak lama. Ramainya trotoar tidak di pedulikannya. Yang jelas, potelot itu seakan membuat Malipun merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan.

            Copet merajalela, hukum seperti mainan anak kecil yang dapat di ubah kapanpun. Orang lemah di tindas. Ketidak adilan juga celotehan palsu sudah sering termakan oleh rakyat jelata. Pertemuan-pertemuanpun Cuma membahas omong kosong. Serba bicara ekonomi, mensejahterakan rakyat, yang nyatanya pengamen dan jambret masih menjadi momok di masyarakat. Sebagaiman Malipun. Meski dia kere, dia tetap berpikir tentang apa yang dialaminya. Saban hari harus mungut sampah. Entah sampai kapan dia harus melakukannya. Mungkin seumur hidupnya. Tidak. Dia tidak mau seumur hidupnya Cuma mulung. Dia mau cari kerja, tapi semua pekerjaan yang dia datangi selalu saja menolaknya.

“pak saya mau lamar kerja jadi guru”    suatu kali saat mau melamar pekerjaan di sebuah sekolahan.
“mata pelajaran apa yang anda kuasai?”
“olahraga pak”
“disini guru olahraga sudah mencukupi”
“kalau begitu jadikan saya tukang bersih-bersih”
“kami sudah mempunyai stok”
“terserah bapak saya mau di kerjakan di mana. Saya terima saja kok apa adanya. Jadi pekerjaan apa yang belum diisi pak?”
“tidak ada. Disini pegawai sudah penuh. Jadi pergi saja”
Malipun lalu minggat sambil memaki-maki kepala sekolah tadi.
Tidak puas dia pergi ke mall. Dia tetap bertekad mencari kerja. Lalu datanglah ia menemui salah satu menejer disana. Tak sempat bicara, dia diusir security disana karena dikira gelandangan. Walaupun pada dasarnya dia memang seorang gelandangan.

            Malipun berpikir keras. Dia kebingungan. Dia sadar bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa. Walaupun saat ini dia memiliki potelot. Toh dia tidak bisa menulis dan membaca. Huruf abjad saja Dia tidak hafal betul. Dia pasrah. Matanya mulai sayu. dirinya seperti orang yang tidak guna. Tidak akan merubah apapun meski dia ber-orasi di depan banyak orang. Yang ada malahan dia di ringkus dan di sangka orang gila. Cuma orang buangan yang tidak memiliki tempat di bumi ini. Sebenarnya Malipun punya tujuan. Namun seperti mimpi jika itu terwujud.

            Namun di sela-sela waktu itu semangatnya bangkit lagi, dengan potelot yang ada di genggamannya. Dirinya  ingin di perhatikan. Dirinya ingin di dengarkan. Dia ingin namanya di kenang. Dan dia juga ingin hidupnya ini berguna. Dia mau menyelesaikan masalah ekonomi. Mau membuat teknologi baru. Mau mengatasi pengangguran. Mau menyadarkan orang-orang akan pentingnya adab. Mau mengajarkan agama. Dia mau wujudkan semua dan merubah dunia yang sebenarnya kelam ini dengan potelotnya. Dia yakin. Dia tak bisa baca tulis tapi masih tetap yakin. Dia cari robekan kertas yang ada di sekitarnya. Dan berhasillah dia temukan bungkusan makanan. Dia lalu tuliskan tapi bukan keinginannya. Dia Cuma menulis agar mendapat buku baru. Setelah ditulisnya. Dia kaget ternyata bisa menulis. Dia lalu menjajal membaca tulisan itu “ingin buku”. Malipun takjub dan tersipu. Dia senang karna tiba-tiba dia bisa baca tulis.

             Esoknya seperti biasa. Dia mulung dan cari makan. Setelah selesai, dia duduk-duduk di emperan toko. Seperti yang sering dia lakukan sehari-hari. Tanpa di duga, sebuah buku mengenai kepalanya. Malipun yang sedang duduk-duduk sampai tersungkur kaget. Dia mengerjap-ngerjap dikira mau di pukuli. Tapi bukan. Ternyata Cuma buku. Lalu diambilnya buku itu. Ternyata masih baru. Dia bingung dari mana asal buku itu. Dia tengok kanan dan kiri tapi tak ada yang di curigainya sebagai orang yang melempar buku itu. Malipun berpikir agak lama. Barulah dia ingat bahwa kemarin dia sudah minta buku yang di tulisnya dengan potelot itu. lalu dia meloncak kegirangan sambil mencolot. Melakukan sujud syukur dan memamerkan buku barunya kepada para pengguna jalan. Mobil di terap, motor di cegat, pejalan kaki di sentak. Hal ini dilakukan agar semua orang tau jika dia punya buku baru. Tapi respon mereka Cuma menghindar dan menekan klaksonnya agar Malipun pergi.

            Dia menulis lagi. Rupanya mau mencoba jika potelot itu benar-benar punya keajaiban. Dia menulis dalam bukunya.

aku ingin mewujudkan keinginanku. Aku mau hidupku berguna untuk banyak orang.  Ya Tuhan ku, berilah aku ilmu agar bisa berbuat sesuatu yang berguna. Berilah aku kepintaran agar bisa menggunakan potelot dan buku ini”
Lalu dia menunggu beberapa saat.

            Sesaat Malipun merasakan keanehan. Dia merasa jadi orang pintar. Tanpa di duga, otaknya di penuhi artikel-artikel dan rumus-rumus. Kepalanya seperti di tempa. Pemikiran serta daya telusur juga kuat. Otak Malipun seperti kemasukan sesuatu. Pertama terasa berat. Dia tak mengerti kenapa bisa jadi begini. Tetap terasa berat. Tiba-tiba dia tahu tentang pelajaran ekonomi. Lalu kloter berikutnya sejarah, biologi, b.inggris, kimia, fisika, matematika, sampai semua mapel terngiang dan mengumpul di kepalanya. Otak Malipun seperti ingin meletus tapi nggak jadi. Dia coba memilah dan menempatkan ilmu-ilmu itu ke tiap-tiap bagian otaknya yang melompong karena tak pernah di isi. Di saat terakhir. Dia bisa menguasai tubuhnya lagi yang mungkin berbeda dengan dirinya yang dulu.

“pak, bisa menjajal kemampuan saya” dia langsung mau menguji ilmu itu ke orang lain
“kamu siapa”
“saya manusia yang bertipe homo sapien pak”
“pergi kamu!”
 Lalu dia urungkan niatnya...

            Dia tak putus asa, meski belum menguji apakah dia pintar atau tidak. Yang jelas dia sudah merasa pintar. Jadi tak perlu melakukan uji coba terhadap kepintarannya. Sekarang yang penting adalah menguji potelot itu lagi. Agaknya Malipun belum percaya meski sudah mendapatkan kepintaran yang dia inginkan. Dia lalu menulis lagi.

            Pukul sekian (waktu di samarkan) terjadi gempa di tempat (tempat di samaran).

Pukul itu pula gempa terjadi di tempat itu. Malipun tak habis pikir jika apa yang di tulisnya bisa benar-benar terjadi. Tapi dia masih belum percaya. Mungkin otaknya yang sudah kepinteran itu menolak kejadian yang tidak logis dan sulit di terima nalar itu. dia masih menyimpulkan jika tadi itu faktor ketidak sengajaan. Maka, dia mencoba menulis yang lainnya. Karena ini waktunya sholat dzuhur. Jadi dia menulis.

            Orang orang di sini pada ke mesjid semua

Dan setelah adzan zuhur selesai. Mesjid penuh sesak oleh orang-orang.

            Dalam ketidak pastian, Malipun mau tak mau akhirnya percaya pada kekuatan potelot itu. dia lalu menulis lagi yang lebih banyak. Dia mau menentukan kejadian demi kejadian yang akan terjadi. Setelah selesai, Malipun lalu  berjalan-jalan. karena dia mau yang praktis untuk kemana-mana. Maka dia memilih untuk terbang. Dia tulis lagi di buku itu.

            Pengen terbang

Lalu dia terbang. Kakinya sudah tidak menempel ke tanah. dia terbang semakin tinggi melebihi pohon kelapa. Orang-orang yang ada di tempat itu pada melongo. Mereka tidak percaya apa yang lagi dilihatnya. Ada yang mengecek mata, ada yang mengucek mata. Ada yang beberapa kali menampar pipinya, mengecek kalau yang dilihatnya bukan mimpi. Malipun terbang semakin tinggi. Sekarang tingginya setara dengan puncak gedung. Dia melihati orang-orang terpana. Mata mereka terfokus tertuju padanya. Malipun Cuma tersenyum. Ini karena tulisan yang ia tulis di bukunya. Setelah berpikir apa yang mau dilakukan. Dia pun terbang ke suatu tempat di pedesaan.

            Malipun melihat ke bawah. Anak-anak sedang bermain jamuran. Jarang sekarang anak-anak bermain permainan itu. Malipun memilih menukik untuk menyapa anak-anak itu. Tepat di atas kepala mereka. Salah satu anak yang melihat Malipun duluan langsung menuding-nudingkan jari telunjuknya ke arah Malipun.

“lihat-lihat. Om-om itu terbang. Dia superman jadi-jadian!”
Seketika anak-anak pada menoleh ke arah Malipun. Bukannya takut, mereka malah bersorak sorai menyuruh Malipun turun
“turun om”     “gendong om”
“aku juga kepingin terbang...... terbang sampe amerika!”
“aku juga, aku juga!”
“aku dulu, aku yang lebih kepingin. Aku aku!”
Mereka semua terus memohon, tapi Malipun Cuma tersenyum. Dia lalu turun pelan-pelan. Anak-anak yang ada di situ langsung mengerumuninya. Memegangi kaos bolongnya. Menjawil pipi boroknya. Memegangi kaki baunya. Mereka seperti senang akan kedatangan Malipun. Malipun juga merasa bahagia. Tapi Malipun tidak punya waktu bermain dengan mereka.
“maaf anak-anak. Om lagi banyak urusan. Tetaplah bermain dengan tertib. Jangan ada yang curang. Jangan jadi orang yang kepingin menangan sendiri. Tapi punyailah mental harus menang demi diri dan orang lain. Makanya nanti kalau udah gede, jadilah pemberani. Jadilah pemimpin yang adil, tidak nyeleneh dan tidak neko-neko
Malipun kembali lagi terbang dan melesat dengan cepat. Meninggalkan anak-anak yang masih saja bersorak mengiringi kepergiannya.

            Air mulai menetes dari langit. Pengendara motor mulai berteduh untuk menggunakan mantelnya. Pejalan kaki membuka payung. Sedangkan lalat mencari tempat yang kering supaya tidak terkena tetesan hujan. Malipun juga segera turun. Dia tak mau merusak buku dan potelotnya. Sambil berteduh di suatu bangunan. Dia melihat sekeliling. Keadaannya selalu sama setiap hari. Dimana bis-bis penuh. Pengamen dan pengemis menjamur. Pemandangan yang semrawut dan tempat kotor oleh sampah-sampah yang di buang sembarangan. Malipun jengkel. Dia menulis lagi. Dalam guyuran hujan yang rintik-rintik agak deras. Dia mengosek-ngosek buku itu dengan tulisan. memberi seperti keinginan tentang apa yang nantinya akan terjadi. Setelah selesai. Dia menutup bukunya dan kembali menatap sekeliling. Kali ini suasana berubah seutuhnya. Bis-bis sudah tidak penuh lagi. Jalanan tertib karena sudah tidak ada kemacetan. Orang-orang pada gotong royong membersihkan sampah. Anak-anak muda pada sopan santun dan tidak ada yang pacaran. Pengemis dan pengamen sudah tidak ada. Semua orang yang ada di sini saling membantu satu sama lainnya. Seperti halnya keluarga besar. Mereka sudah tidak ada yang saling bermusuhan ataupun membedakan antara satu dan lainnya. Terlihat seorang yang menjadi direktur perusahaan sedang berbincang dengan pedagang asongan. Terlihat profesor yang titelnya berderet memenuhi namanya juga lagi asyik-asyiknya bermain dengan anak-anak jalanan. Anak-anak TK juga pada di ajari caranya menanam pohon serta peduli terhadap lingkungan juga budaya membaca. Malipun yang melihat kejadian itu langsung gembira. Coba semua berjalan seperti ini setiap saatnya. Sungguh enak bila hidup seperti itu. Pasti dunia akan penuh warna. Bak tercebur di kolam emas. Hujan mereda meninggalkan bekas. Semua orang disini terlihat selaras. Dan tidak ada lagi yang  malas-malas. Malipun lalu pergi lagi ke tempat lain. Di tulis di bukunya untuk tempat selanjutnya yang akan dia kunjungi.

* * *

            Hari sudah sore. Kali ini dia kembali menukik ke bawah. Sepi di tempat itu. pedalaman kampung yang jalannya saja belum diaspal. membentuk cekungan dan tonjolan di mana-mana. air menggenanginya. Rumah berjejer agak berjauhan, menyediakan tempat hijau untuk lingkungan. Udara segar masih terasa. Kebanyakan orang-orang disini pada ngontel. Meski penduduknya sedikit. Tapi masih terlihat di sebagian tempat. Lalu Malipun berjalan menyusuri kampung. Orang tua sibuk membuat anyaman. Ada lagi yang memberi makan ternak. Angin berhembus. Langit sudah memerah bercampur gelap. Serasa seperti perkampungan mati. Sebab semua anak muda disini memilih merantau di tempat lain. Yang tersisa disini hanya para manula dan anak-anak yang masih kanakan. Malipun sudah memastikan jika mereka sudah besar nanti pasti juga ikut-ikutan merantau. Sebelum melakukan sesuatu. Malipun sholat magrib terlebih dahulu. Di desa yang mau mau mati itu hanya terdapat satu surau kecil yang bangunannya sudah tidak bisa dibayangkan karena saking bobroknya. Saat Malipun sholat. Bau balsem dan bau badannya bercampur jadi satu di ruangan itu. sungguh sesak tapi Malipun sudah biasa. Surau yang kecil itu membuat sirkulasi udara mampat. Tapi dengan ilmu yang sudah di anugrahkan kepadanya. Lalu dia sedikit merenovasi surau itu. tidak begitu sulit karena bangunannya hanya terbuat dari kayu tua yang sudah di makan rayap. Setelah di renovasi, Sekarang lebih mendingan dan udara di ruangan dalam sudah tidak pengap lagi. Banyak orang berterimakasih dan mau membayar. Cuman dia menolak dan minta makanan saja.

            Langit di naungi kelipan bintang. Senja sudah hilang meninggalkan langit yang sudah gelap. Malipun ingin menemui sesorang sebelum jalanan sudah tidak bisa di terawang. Lantas dia menemui seorang anak muda yang dirasa berpengaruh di kampung itu dan menanyainya langsung.

“siapa namamu?”
“sidin om” lalu dia bernafas “kok om bau bangkai” sambil menutup hidung
“hoo.... om bisa lho mengganti aroma om kalau mau”
“emang bisa?”
“dengan ini” lalu dia keluarkan potelotnya
“om orang gila?”
“bukan, mau bukti?”
Anak itu mengangguk.
“kamu mau aroma apa?”
“melati keraton aja”
“oke” lalu Malipun menulis di bukunya. Tak berselang waktu lama. Anak itu memberanikan diri mengendus. Awalnya ragu-ragu tapi ternyata benar. Wanginya sama seperti minyak wangi melati keraton. “kok om bisa?” kata anak itu “ajarin dong”
“nggak boleh, ini bukan untuk anak kecil”
“lha om mau apa?”
“om mau ngasih tau. Ntar kamu waktu udah besar, harus merawat dan membesarkan kampung ini. Kalau bisa, ajak teman-temanmu sekalian”
“ogah ah. Kampung ini sudah butut, kadaluarsa. Mending saya merantau ke kota aja”
“jangan begitu din, ini kan kampung halamanmu. Tempat kelahiranmu. Kamu dan anak muda yang lain harus menghidupkan kampung ini. Bukan masalah enak atau enggak. Jika kampung ini hidup, kan otomatis orang-orang pada ke sini. Kita harus membangun desa. Masa depan ada di tanganmu!”
“pokoknya ogah. Sidin mau pergi dulu”
“eits... jangan. Kalau nggak mau. Terpaksa om tulis kamu besok mampus lho, mau!?”
“apa bisa?” kata anak itu seakan tak peduli.
“mau bukti nih tak tulis ayam jago itu mati” lalu Malipun menulis. Tak berselang lama, ayam itu mati. Sidin yang melihatnya langsung kaget.
“jangan om jangan. Sidin nggak mau mampus dulu. Sidin belum nikah. Sidin amalnya masih kurang. Jangan om. Oke deh, sidin laksanakan perintahnya”
“nah, gitu dong”

Lalu dua orang itu sepakat dan berjabat tangan. Sidin langsung berlari mengundang temannya untuk merembuk kesepakatan bersama agar kampung bisa hidup lagi. Malipun menatap dari jauh. Anak-anak itu tampaknya sudah sepakat tak akan meninggalkan kampung. Mereka memilih untuk membangun kampungnya agar banyak orang datang. Sesuai dengan rencana Malipun. Memang sesuai.

            Semua persiapan dan bukti-bukti yang konkret tentang keajaiban potelot itu sudah selesai dia teliti. Berbekal ilmu yang memadai, buku, juga potelot. Malipun mengatur rencana agar impian beserta keinginannya bisa terwujud. Dia menulis berdasarkan filsafat dan ilmu-ilmu yang sudah ada di kepalanya. Dia sudah yakin jika potelot itu punya keajaiban. Pikirannya kini Cuma tertuju di kertas kosong. Lalu dia menulis, terus menulis, terus menulis. Jika ujung potelotnya patah atau aus. Dengan kepintarannya, lanciplah kembali potelot itu seperti sihir. Lalu melanjutkan menulis. Terus menulis, terus menulis, tetap menulis. Meski sudah berkeringat, tangan pegal, kaki kesemutan, punggung keram. Terus saja menulis. Sampai sepuluh lembar, limabelas.... duapuluh..... dan seterusnya. Dia menulis agar manusia sadar jika dunia ini hanya fana. Saling tolong menolong, tidak menindas orang-orang kere. Amal ma’ruf nahi munkar. Saling menyayangi antar sesama. Perdamaian tercipta. Tidak ada perang. Permusuhan musnah beserta para pengusungnya. Keadilan tercipta hingga ke ujung-ujungnya. Kejahatan tercabut sampai ke akar-akarnya. Semua manusia hidup tentram tanpa membedakan kedudukan, status sosial, juga ras. Negara hidup makmur sampai tak ada lagi jambret dan pengangguran. Intinya adalah perombakan besar-besaran. Membuat dunia menjadi damai, aman dan tentram. Dimana semua adalah baik. Dimana semua serba akur dan tidak ada kebencian dan sifat buruk. Malipun menulis hingga buku catatannya penuh. Lalu di buangnya potelot itu karena sudah tidak di butuhkan lagi. Setelahnya Cuma menunggu.



            Solo, 25 Agustus 2014
                         MHA

0 komentar:

Posting Komentar