Malipun tak
sengaja menemukan sebuah potelot di pinggiran jalan. Di ambil dan dilihatnya
matang-matang potelot itu. Berwarna kuning, dan ada penghapus di ujung yang
lainnya. Dia terpaku agak lama. Ramainya trotoar tidak di pedulikannya. Yang jelas,
potelot itu seakan membuat Malipun merasakan sesuatu yang belum pernah dia
rasakan.
Copet merajalela,
hukum seperti mainan anak kecil yang dapat di ubah kapanpun. Orang lemah di tindas.
Ketidak adilan juga celotehan palsu sudah sering termakan oleh rakyat jelata.
Pertemuan-pertemuanpun Cuma membahas omong kosong. Serba bicara ekonomi,
mensejahterakan rakyat, yang nyatanya pengamen dan jambret masih menjadi momok
di masyarakat. Sebagaiman Malipun. Meski dia kere, dia tetap berpikir tentang
apa yang dialaminya. Saban hari harus mungut sampah. Entah sampai kapan dia
harus melakukannya. Mungkin seumur hidupnya. Tidak. Dia tidak mau seumur
hidupnya Cuma mulung. Dia mau cari kerja, tapi semua pekerjaan yang dia datangi
selalu saja menolaknya.
“pak saya mau lamar kerja jadi guru” suatu kali saat mau melamar pekerjaan di
sebuah sekolahan.
“mata pelajaran apa yang anda kuasai?”
“olahraga pak”
“disini guru olahraga sudah mencukupi”
“kalau begitu jadikan saya tukang bersih-bersih”
“kami sudah mempunyai stok”
“terserah bapak saya mau di kerjakan di mana. Saya terima saja kok
apa adanya. Jadi pekerjaan apa yang belum diisi pak?”
“tidak ada. Disini pegawai sudah penuh. Jadi pergi saja”
Malipun lalu minggat sambil memaki-maki kepala sekolah tadi.
Tidak puas dia pergi ke mall. Dia tetap bertekad mencari kerja.
Lalu datanglah ia menemui salah satu menejer disana. Tak sempat bicara, dia
diusir security disana karena dikira gelandangan. Walaupun pada dasarnya dia
memang seorang gelandangan.
Malipun berpikir keras. Dia kebingungan. Dia sadar bahwa
dia tidak bisa melakukan apa-apa. Walaupun saat ini dia memiliki potelot. Toh
dia tidak bisa menulis dan membaca. Huruf abjad saja Dia tidak hafal betul. Dia
pasrah. Matanya mulai sayu. dirinya seperti orang yang tidak guna. Tidak akan
merubah apapun meski dia ber-orasi di depan banyak orang. Yang ada malahan dia
di ringkus dan di sangka orang gila. Cuma orang buangan yang tidak memiliki
tempat di bumi ini. Sebenarnya Malipun punya tujuan. Namun seperti mimpi jika
itu terwujud.
Namun di sela-sela
waktu itu semangatnya bangkit lagi, dengan potelot yang ada di genggamannya.
Dirinya ingin di perhatikan. Dirinya
ingin di dengarkan. Dia ingin namanya di kenang. Dan dia juga ingin hidupnya
ini berguna. Dia mau menyelesaikan masalah ekonomi. Mau membuat teknologi baru.
Mau mengatasi pengangguran. Mau menyadarkan orang-orang akan pentingnya adab.
Mau mengajarkan agama. Dia mau wujudkan semua dan merubah dunia yang sebenarnya
kelam ini dengan potelotnya. Dia yakin. Dia tak bisa baca tulis tapi masih
tetap yakin. Dia cari robekan kertas yang ada di sekitarnya. Dan berhasillah
dia temukan bungkusan makanan. Dia lalu tuliskan tapi bukan keinginannya. Dia
Cuma menulis agar mendapat buku baru. Setelah ditulisnya. Dia kaget ternyata
bisa menulis. Dia lalu menjajal membaca tulisan itu “ingin buku”. Malipun
takjub dan tersipu. Dia senang karna tiba-tiba dia bisa baca tulis.
Esoknya seperti biasa. Dia mulung dan cari
makan. Setelah selesai, dia duduk-duduk di emperan toko. Seperti yang sering
dia lakukan sehari-hari. Tanpa di duga, sebuah buku mengenai kepalanya. Malipun
yang sedang duduk-duduk sampai tersungkur kaget. Dia mengerjap-ngerjap dikira
mau di pukuli. Tapi bukan. Ternyata Cuma buku. Lalu diambilnya buku itu.
Ternyata masih baru. Dia bingung dari mana asal buku itu. Dia tengok kanan dan
kiri tapi tak ada yang di curigainya sebagai orang yang melempar buku itu.
Malipun berpikir agak lama. Barulah dia ingat bahwa kemarin dia sudah minta
buku yang di tulisnya dengan potelot itu. lalu dia meloncak kegirangan sambil
mencolot. Melakukan sujud syukur dan memamerkan buku barunya kepada para
pengguna jalan. Mobil di terap, motor di cegat, pejalan kaki di sentak. Hal ini
dilakukan agar semua orang tau jika dia punya buku baru. Tapi respon mereka
Cuma menghindar dan menekan klaksonnya agar Malipun pergi.
Dia menulis lagi.
Rupanya mau mencoba jika potelot itu benar-benar punya keajaiban. Dia menulis
dalam bukunya.
aku ingin mewujudkan keinginanku. Aku mau hidupku berguna untuk
banyak orang. Ya Tuhan ku, berilah aku
ilmu agar bisa berbuat sesuatu yang berguna. Berilah aku kepintaran agar bisa
menggunakan potelot dan buku ini”
Lalu dia menunggu beberapa saat.
Sesaat Malipun
merasakan keanehan. Dia merasa jadi orang pintar. Tanpa di duga, otaknya di
penuhi artikel-artikel dan rumus-rumus. Kepalanya seperti di tempa. Pemikiran
serta daya telusur juga kuat. Otak Malipun seperti kemasukan sesuatu. Pertama
terasa berat. Dia tak mengerti kenapa bisa jadi begini. Tetap terasa berat.
Tiba-tiba dia tahu tentang pelajaran ekonomi. Lalu kloter berikutnya sejarah, biologi,
b.inggris, kimia, fisika, matematika, sampai semua mapel terngiang dan
mengumpul di kepalanya. Otak Malipun seperti ingin meletus tapi nggak jadi. Dia
coba memilah dan menempatkan ilmu-ilmu itu ke tiap-tiap bagian otaknya yang
melompong karena tak pernah di isi. Di saat terakhir. Dia bisa menguasai
tubuhnya lagi yang mungkin berbeda dengan dirinya yang dulu.
“pak, bisa menjajal kemampuan saya” dia langsung mau menguji ilmu
itu ke orang lain
“kamu siapa”
“saya manusia yang bertipe homo sapien pak”
“pergi kamu!”
Lalu dia urungkan niatnya...
Dia tak putus asa,
meski belum menguji apakah dia pintar atau tidak. Yang jelas dia sudah merasa
pintar. Jadi tak perlu melakukan uji coba terhadap kepintarannya. Sekarang yang
penting adalah menguji potelot itu lagi. Agaknya Malipun belum percaya meski
sudah mendapatkan kepintaran yang dia inginkan. Dia lalu menulis lagi.
Pukul sekian
(waktu di samarkan) terjadi gempa di tempat (tempat di samaran).
Pukul itu pula gempa terjadi di tempat itu. Malipun tak habis pikir
jika apa yang di tulisnya bisa benar-benar terjadi. Tapi dia masih belum
percaya. Mungkin otaknya yang sudah kepinteran itu menolak kejadian yang tidak
logis dan sulit di terima nalar itu. dia masih menyimpulkan jika tadi itu
faktor ketidak sengajaan. Maka, dia mencoba menulis yang lainnya. Karena ini
waktunya sholat dzuhur. Jadi dia menulis.
Orang orang di sini pada ke
mesjid semua
Dan setelah adzan zuhur selesai. Mesjid penuh sesak oleh
orang-orang.
Dalam ketidak
pastian, Malipun mau tak mau akhirnya percaya pada kekuatan potelot itu. dia
lalu menulis lagi yang lebih banyak. Dia mau menentukan kejadian demi kejadian
yang akan terjadi. Setelah selesai, Malipun lalu berjalan-jalan. karena dia mau yang praktis
untuk kemana-mana. Maka dia memilih untuk terbang. Dia tulis lagi di buku itu.
Pengen terbang
Lalu dia terbang. Kakinya sudah tidak menempel ke tanah. dia
terbang semakin tinggi melebihi pohon kelapa. Orang-orang yang ada di tempat
itu pada melongo. Mereka tidak percaya apa yang lagi dilihatnya. Ada yang
mengecek mata, ada yang mengucek mata. Ada yang beberapa kali menampar pipinya,
mengecek kalau yang dilihatnya bukan mimpi. Malipun terbang semakin tinggi.
Sekarang tingginya setara dengan puncak gedung. Dia melihati orang-orang
terpana. Mata mereka terfokus tertuju padanya. Malipun Cuma tersenyum. Ini
karena tulisan yang ia tulis di bukunya. Setelah berpikir apa yang mau
dilakukan. Dia pun terbang ke suatu tempat di pedesaan.
Malipun melihat ke
bawah. Anak-anak sedang bermain jamuran. Jarang sekarang anak-anak bermain
permainan itu. Malipun memilih menukik untuk menyapa anak-anak itu. Tepat di
atas kepala mereka. Salah satu anak yang melihat Malipun duluan langsung menuding-nudingkan
jari telunjuknya ke arah Malipun.
“lihat-lihat. Om-om itu terbang. Dia superman jadi-jadian!”
Seketika anak-anak pada menoleh ke arah Malipun. Bukannya takut, mereka
malah bersorak sorai menyuruh Malipun turun
“turun om” “gendong om”
“aku juga kepingin terbang...... terbang sampe amerika!”
“aku juga, aku juga!”
“aku dulu, aku yang lebih kepingin. Aku aku!”
Mereka semua terus memohon, tapi Malipun Cuma tersenyum. Dia lalu
turun pelan-pelan. Anak-anak yang ada di situ langsung mengerumuninya.
Memegangi kaos bolongnya. Menjawil pipi boroknya. Memegangi kaki baunya. Mereka
seperti senang akan kedatangan Malipun. Malipun juga merasa bahagia. Tapi Malipun
tidak punya waktu bermain dengan mereka.
“maaf anak-anak. Om lagi banyak urusan. Tetaplah bermain dengan
tertib. Jangan ada yang curang. Jangan jadi orang yang kepingin menangan
sendiri. Tapi punyailah mental harus menang demi diri dan orang lain. Makanya
nanti kalau udah gede, jadilah pemberani. Jadilah pemimpin yang adil, tidak
nyeleneh dan tidak neko-neko”
Malipun kembali lagi terbang dan melesat dengan cepat. Meninggalkan
anak-anak yang masih saja bersorak mengiringi kepergiannya.
Air mulai menetes
dari langit. Pengendara motor mulai berteduh untuk menggunakan mantelnya.
Pejalan kaki membuka payung. Sedangkan lalat mencari tempat yang kering supaya
tidak terkena tetesan hujan. Malipun juga segera turun. Dia tak mau merusak
buku dan potelotnya. Sambil berteduh di suatu bangunan. Dia melihat sekeliling.
Keadaannya selalu sama setiap hari. Dimana bis-bis penuh. Pengamen dan pengemis
menjamur. Pemandangan yang semrawut dan tempat kotor oleh sampah-sampah yang di
buang sembarangan. Malipun jengkel. Dia menulis lagi. Dalam guyuran hujan yang
rintik-rintik agak deras. Dia mengosek-ngosek buku itu dengan tulisan. memberi
seperti keinginan tentang apa yang nantinya akan terjadi. Setelah selesai. Dia
menutup bukunya dan kembali menatap sekeliling. Kali ini suasana berubah
seutuhnya. Bis-bis sudah tidak penuh lagi. Jalanan tertib karena sudah tidak
ada kemacetan. Orang-orang pada gotong royong membersihkan sampah. Anak-anak
muda pada sopan santun dan tidak ada yang pacaran. Pengemis dan pengamen sudah
tidak ada. Semua orang yang ada di sini saling membantu satu sama lainnya.
Seperti halnya keluarga besar. Mereka sudah tidak ada yang saling bermusuhan
ataupun membedakan antara satu dan lainnya. Terlihat seorang yang menjadi
direktur perusahaan sedang berbincang dengan pedagang asongan. Terlihat
profesor yang titelnya berderet memenuhi namanya juga lagi asyik-asyiknya
bermain dengan anak-anak jalanan. Anak-anak TK juga pada di ajari caranya
menanam pohon serta peduli terhadap lingkungan juga budaya membaca. Malipun yang
melihat kejadian itu langsung gembira. Coba semua berjalan seperti ini setiap
saatnya. Sungguh enak bila hidup seperti itu. Pasti dunia akan penuh warna. Bak
tercebur di kolam emas. Hujan mereda meninggalkan bekas. Semua orang disini
terlihat selaras. Dan tidak ada lagi yang
malas-malas. Malipun lalu pergi lagi ke tempat lain. Di tulis di bukunya
untuk tempat selanjutnya yang akan dia kunjungi.
* * *
Hari sudah sore.
Kali ini dia kembali menukik ke bawah. Sepi di tempat itu. pedalaman kampung
yang jalannya saja belum diaspal. membentuk cekungan dan tonjolan di mana-mana.
air menggenanginya. Rumah berjejer agak berjauhan, menyediakan tempat hijau
untuk lingkungan. Udara segar masih terasa. Kebanyakan orang-orang disini pada
ngontel. Meski penduduknya sedikit. Tapi masih terlihat di sebagian tempat.
Lalu Malipun berjalan menyusuri kampung. Orang tua sibuk membuat anyaman. Ada
lagi yang memberi makan ternak. Angin berhembus. Langit sudah memerah bercampur
gelap. Serasa seperti perkampungan mati. Sebab semua anak muda disini memilih
merantau di tempat lain. Yang tersisa disini hanya para manula dan anak-anak
yang masih kanakan. Malipun sudah memastikan jika mereka sudah besar nanti
pasti juga ikut-ikutan merantau. Sebelum melakukan sesuatu. Malipun sholat
magrib terlebih dahulu. Di desa yang mau mau mati itu hanya terdapat satu surau
kecil yang bangunannya sudah tidak bisa dibayangkan karena saking bobroknya.
Saat Malipun sholat. Bau balsem dan bau badannya bercampur jadi satu di ruangan
itu. sungguh sesak tapi Malipun sudah biasa. Surau yang kecil itu membuat
sirkulasi udara mampat. Tapi dengan ilmu yang sudah di anugrahkan kepadanya.
Lalu dia sedikit merenovasi surau itu. tidak begitu sulit karena bangunannya
hanya terbuat dari kayu tua yang sudah di makan rayap. Setelah di renovasi,
Sekarang lebih mendingan dan udara di ruangan dalam sudah tidak pengap lagi.
Banyak orang berterimakasih dan mau membayar. Cuman dia menolak dan minta
makanan saja.
Langit di naungi
kelipan bintang. Senja sudah hilang meninggalkan langit yang sudah gelap.
Malipun ingin menemui sesorang sebelum jalanan sudah tidak bisa di terawang.
Lantas dia menemui seorang anak muda yang dirasa berpengaruh di kampung itu dan
menanyainya langsung.
“siapa namamu?”
“sidin om” lalu dia bernafas “kok om bau bangkai” sambil menutup
hidung
“hoo.... om bisa lho mengganti aroma om kalau mau”
“emang bisa?”
“dengan ini” lalu dia keluarkan potelotnya
“om orang gila?”
“bukan, mau bukti?”
Anak itu mengangguk.
“kamu mau aroma apa?”
“melati keraton aja”
“oke” lalu Malipun menulis di bukunya. Tak berselang waktu lama.
Anak itu memberanikan diri mengendus. Awalnya ragu-ragu tapi ternyata benar.
Wanginya sama seperti minyak wangi melati keraton. “kok om bisa?” kata anak itu
“ajarin dong”
“nggak boleh, ini bukan untuk anak kecil”
“lha om mau apa?”
“om mau ngasih tau. Ntar kamu waktu udah besar, harus merawat dan
membesarkan kampung ini. Kalau bisa, ajak teman-temanmu sekalian”
“ogah ah. Kampung ini sudah butut, kadaluarsa. Mending saya merantau
ke kota aja”
“jangan begitu din, ini kan kampung halamanmu. Tempat kelahiranmu.
Kamu dan anak muda yang lain harus menghidupkan kampung ini. Bukan masalah enak
atau enggak. Jika kampung ini hidup, kan otomatis orang-orang pada ke sini.
Kita harus membangun desa. Masa depan ada di tanganmu!”
“pokoknya ogah. Sidin mau pergi dulu”
“eits... jangan. Kalau nggak mau. Terpaksa om tulis kamu besok
mampus lho, mau!?”
“apa bisa?” kata anak itu seakan tak peduli.
“mau bukti nih tak tulis ayam jago itu mati” lalu Malipun menulis.
Tak berselang lama, ayam itu mati. Sidin yang melihatnya langsung kaget.
“jangan om jangan. Sidin nggak mau mampus dulu. Sidin belum nikah.
Sidin amalnya masih kurang. Jangan om. Oke deh, sidin laksanakan perintahnya”
“nah, gitu dong”
Lalu dua orang itu sepakat dan berjabat tangan. Sidin langsung
berlari mengundang temannya untuk merembuk kesepakatan bersama agar kampung
bisa hidup lagi. Malipun menatap dari jauh. Anak-anak itu tampaknya sudah
sepakat tak akan meninggalkan kampung. Mereka memilih untuk membangun
kampungnya agar banyak orang datang. Sesuai dengan rencana Malipun. Memang
sesuai.
Semua persiapan
dan bukti-bukti yang konkret tentang keajaiban potelot itu sudah selesai dia
teliti. Berbekal ilmu yang memadai, buku, juga potelot. Malipun mengatur
rencana agar impian beserta keinginannya bisa terwujud. Dia menulis berdasarkan
filsafat dan ilmu-ilmu yang sudah ada di kepalanya. Dia sudah yakin jika
potelot itu punya keajaiban. Pikirannya kini Cuma tertuju di kertas kosong. Lalu
dia menulis, terus menulis, terus menulis. Jika ujung potelotnya patah atau
aus. Dengan kepintarannya, lanciplah kembali potelot itu seperti sihir. Lalu
melanjutkan menulis. Terus menulis, terus menulis, tetap menulis. Meski sudah
berkeringat, tangan pegal, kaki kesemutan, punggung keram. Terus saja menulis.
Sampai sepuluh lembar, limabelas.... duapuluh..... dan seterusnya. Dia menulis
agar manusia sadar jika dunia ini hanya fana. Saling tolong menolong, tidak
menindas orang-orang kere. Amal ma’ruf nahi munkar. Saling menyayangi
antar sesama. Perdamaian tercipta. Tidak ada perang. Permusuhan musnah beserta
para pengusungnya. Keadilan tercipta hingga ke ujung-ujungnya. Kejahatan
tercabut sampai ke akar-akarnya. Semua manusia hidup tentram tanpa membedakan
kedudukan, status sosial, juga ras. Negara hidup makmur sampai tak ada lagi
jambret dan pengangguran. Intinya adalah perombakan besar-besaran. Membuat
dunia menjadi damai, aman dan tentram. Dimana semua adalah baik. Dimana semua
serba akur dan tidak ada kebencian dan sifat buruk. Malipun menulis hingga buku
catatannya penuh. Lalu di buangnya potelot itu karena sudah tidak di butuhkan
lagi. Setelahnya Cuma menunggu.
Solo, 25 Agustus
2014
MHA
0 komentar:
Posting Komentar