Minggu, 18 Agustus 2019

Kumpulan Cerpen; Tenang-Santai-Santuy-Sans




Alunan nada itu terus berdengung, memutar bersenandung bagai simfoni yang terlukis dalam corel X7. Menemani berbagai macam usaha, peluh, kesah, dan pengorbanan untuk menjadi mahasiswa salah satu universitas ternama. Entah sudah berapa kali lagu itu di ulang terus, membuat kuping bising. Hingga akhirnya lagu yang enak di dengar itu menjadi membosankan, mengganggu, lalu terbuang dalam dasar list dan tidak pernah di putar kembali.

Beberapa tahun berlalu. Rasanya kangen sekali merasakan alunan musik yang sudah lama terpendam dalam ingatan. Akhirnya lagu itu muncul kembali dan dinikmati oleh mahasiswa itu, sebuah lagu yang menghantarkannya ke bangku kuliah universitas tujuan.

Android Apple Pie sudah menjadi Oreo. Samsung GT-E1272 sudah menjadi Samsung S7. Perubahan terjadi dalam nada-nada absurd dunia. Saling beradu untuk menjadi salah satu yang terbaik untuk bisa bersaing dalam batas-batas nada yang anggun dan terstruktur. Mahasiswa itu tengah berada di bangku kuliah, mendengarkan sebuah lagu lewat earphonenya, berusaha menebas semua gangguan bisingnya kelas. Matanya fokus membaca, Membawa sebuah buku bertajuk manajemen bisnis.

“apa yang sudah kamu lakukan?” Dirinya bertanya.
“tidak satupun, aku belum melakukan apapun” jawabnya, masih fokus membaca buku.
“sampai kapan?”
“entahlah, sampai lagu ini selesai diputar”
“sudah berapa kali lagu itu selesai diputar?”
“aku tak menghitungnya, sangat banyak”
“Pulanglah, bukankah ada libur lima hari minggu depan?”
“tentu”

Memang benar, tak ada hal yang paling membosankan selain berdiam diri dalam kehidupan. Akankah semua tetap berjalan sealakadarnya. Mahasiswa itu berpikir, bahwa dirinya tak akan mempu untuk cukup membantu dalam perubahan yang terjadi di masa depan.
“akankah negara ini benar-benar akan maju?” Tanya Mahasiswa itu pada dirinya.
“bicara apa kau, tentu orang-orang tengah bergerak menyongsong generasi emas 2045”
“terlalu lama, itu akan membuat mereka merasa santai. Kau tahu bahwa orang di negara kita ini tipe-tipe deadliner. Bahkan tugas satu bulan saja bakal di kerjakan H-1 jam sebelum perkuliahan di mulai”

Mahasiswa itu Nampak khawatir. Bukan pesimis, hanya merasakan keganjilan. Melihat lingkungan ketika dirinya balik menuju kampung halaman, biasa, sama saja, tak ada perubahan berarti, sebelum dia meninggalkan kampungnya, hingga kini, bahkan di tiap ruas jalan menuju ke kampungnya, semua sama saja.

 “perubahan ini sangat lambat. Harusnya kita mampu lebih cepat, lantas apa kendalanya?” sahutnya, namun dirinya tak segera menyahutnya, menjadi sebuah pertanyaan kosong dari jawaban.

Pohon di desa itu masih tetap sama. Dahannya selalu di tebang sehingga ukurannya tetap dari dulu hingga sekarang. Pohon ini sudah menjadi pohon desa yang sewaktu-waktu boleh di panen siapa saja. Buah petai keluar dari tiap dahannya. Beberapa orang memanen lalu membawanya pulang kerumah masing-masing. Mahasiswa itu termenung duduk dikursi bambu. Mendengarkan musik yang sudah lama di buangnya satu tahun yang lalu. Sekarang tiap ritme nada itu sangat membuat bernostalgia. Teringat dulu selalu memutar musik itu dikala merasa lelah belajar demi bisa masuk ke bangku perkuliahan. Dimana Dia harus dihadapkan dengan ratusan ribu mahasiswa lain yang juga sama mengincar satu bangku di fakultasnya.

“dan sekarang apa? bahkan aku tak mengerti mengapa aku berkuliah” batinnya lirih. Dia merasa bersalah, tujuannya dari awal sudah salah.
“Menimba Ilmu? Mendapat banyak teman? Itu hanya bualan, sebuah kata manis dan beracun. Tak ada gunanya dulu aku melandaskan tekadku pada alasan cetek semacam itu. mebahagiakan orang tua? Justru mereka malah mengeluarkan biaya tiap semesteran. Lantas apa dasar yang tepat untukku tetap berkuliah?” Wajah Mahasiswa itu begitu sendu, berpikir bahwa dia telah menyi-nyiakan waktu dan hidupnya selama ini. Masih mendengarkan musik yang sama, ketika habis disetel ulang. Berharap agar kembali bosan dengan lagu lama itu. Namun tidak, justru lagu itu mengingatkannya pada perjuangannya dulu, sebelum menginjak bangku perkuliahan.
“sangat konyol, lantas apa arti perjuanganku dulu?” katanya lirih.

Sebuah petai jatuh dari tangkai. Tak kuat lagi menopang buah yang begitu besar nan ranum. Terurai di jalan, beberapa anak kecil memungutnya. Aanak-anak kecil berlarian memperebutkan petai itu, berharap mendapat bagian paling banyak untuk bisa mereka masak di rumah. Anak kecil yang sama seperti dirinya dulu.

Anak-anak itu ada yang menangis, ada yang Bahagia mendapat petai terbanyak. Meski begitu mereka masih bermain. Bermain permainan ala anak pedasaan yang sudah hampir punah oleh mainan elektronik yang lebih menyita waktu dan tidak menyehatkan badan. Mahasiswa itu tersenyum. Mengingat dulu sering bermain sepakbola di halaman masjid itu. kadang tertawa, kadang juga menangis tersedu karena terkena jegal lawan.

“Masa-masa itu sudah pergi, sekarang aku duduk disini, menatap anak-anak yang lepas bercanda ria tanpa beban. Sedangkan beban yang sangat berat sudah menungguku di depan.
“Lucunya sampai sekarang aku tak memiliki dasar. Tak memiliki arti, sangat menyedihkan. Aku iri pada mereka yang tidak berkuliah. Bisa merasakan puasnya kerja, berpenghasilan meski sedikit, mendapat pengalaman hidup di luar masyarakat. Bisa lebih bermanfaat pada sekitar karena tiap harinya selalu didedikasikan untuk tugas bermasyarakat. Sedangkan aku… hanya bermuluk-muluk dalam kosan, melipir ke angkringan, mengerjakan tugas yang tak berguna. Embel-embel mahasiswaku ini sungguh menagnggu, rasanya title ini malah memberikan jarak yang cukup besar kepada masyarakat sekitar”

Mahasiswa itu merasa terbelenggu dengan identitasnya. Tak seperti dulu merasa lepas dan bebas dalam tiap perubahan dunia yang mendasar. Namun sekarang dia membawa nama Lembaga, membawa nama besar organisasi, membawa nama baik dirinya yang sudah di kagumi di desa sebagai salah satu orang yang berhasil kuliah. Menjadi kebanggaan yang ditunggu-tunggu karyanya.

Dia hanya tersenyum kecut, sambil terus memutar lagu masa lalu. Menatap ke atas dengan melihat berbgai petai ranum di atas sana. Membayangkan bahwa dirinya selam ini ditunggu-tunggu, namun jarak, waktu, dan kesibukan tidak mengijinkannya untuk sejenak mengurus kampung.
“Haruskah semua itu dilakukan saat lulus, kesibukan ini sangat menanggu” katanya “aku tak mengerti hasil yang di dapat dari kesibukan ini?”

Angin berhembus. Debu berterbangan membuat mata keliliban, Dia sedikit jengkel. Matanya yang pedas diusap dengan tangan. Seorang anak muda lain menuju ke arahnya membawakan sepotong sapu tangan.

“te-terimakasih” sahut Mahasiswa itu.
“ya sama-sama, kapan kamu balik kesini, kok ngga kabar-kabar”
“ah, sasa” ternyata teman masa kecilnya. Dari dulu mereka adalah saingan sepakbola antar RT di kampung. Dan sekarang dia tak kuliah dan tengah bekerja di franchase.
“Harusnya kamu mengabariku kalau balik, sudah lama banget kamu di kota. Apa kamu lupa sama teman-temanmu disini?”
“enggaklah, sorry telat ngabarin. Aku cuma ingin sedikit menikmati suasana desa yang sudah lama hilang dari dalam diriku”
“hmm, saiki bahasane Indonesia terus…” godanya.
“hehe kebiasaan, lagian udah ngga enak aku ngomong bahasa ngoko ke kamu. Mana teman-teman yang lain?”
“ini masih jam kerja, mereka bakal pada pulang sore atau malam nanti”
“kamu ga kerja?”
“aku sift malam” Sasa ikut duduk, Bersama mereka melihat anak kecil yang sedang bermain jamuran di komplek masjid.
“itu anaknya Jaenah kan?” Kataku, sambil menunjuk seorang anak yang sangat mirip dengan wajahnya.
“ya, dia sekarang sudah punya suami”
“saat-saat penting itu aku malah ngga bisa datang karena UTS”
“santailah, kami tahu kamu sibuk kuliah”
Alhasil Mahasiswa itu hanya bisa mengucapkan kata selamat dari WA.
“Kamu dulu sering nguntilin dia kan kayak anak bebek”
“jangan mengingat masa kelamku, sekarang aku sudah gak tertarik”
“haha, iya ya” Sasa membuang nafasnya, merasa lelah dengan hidup yang tak pasti “enak ya, bisa kuliah, dapat ilmu, banyak teman, pengalaman dan belajar. Trus kalau kerja bisa jadi bos atau karyawan tetap”

Perkataan Sasa membuat Mahasiswa itu sedikit terusik. “kalau kamu merasakan kuliah kamu pasti bakal berpikir untuk berhenti deh” namun itu hanya dikatakan lewat hati. Tak sampai kerongkongannya.
 “apa bekerja itu tidak enak?” kata Mahasiswa itu.
“kami memang dapat gaji walau ngga seberapa. Mau maju juga susah, jadi aku paling bentar lagi bakal mundur, nyari bisnis atau buat bisnis”
“waktumu pasti cukup luang buat bangun bisnis”
“kuliahmu gimana?”
“banyak kesibukan” (tentunya kesibukan itu bukan berarti hasilnya memuaskan) Katanya dalam Hati.
“ahh, andai aku bisa kuliah dan belajar bisnis, pasti aku bisa lebih maju dan mendapat pekerjaan yang lebih baik dan layak. Aku penasaran seberapa serunya jika aku bisa kuliah”

Mahasiswa itu hanya bisa tersenyum masam, seakan melihat dirinya dulu dimasa lalu, sebelum dia menjejaki masa perkuliahan.


Bangsri, 18 Agustus 2019


M         H         A

0 komentar:

Posting Komentar