Alunan nada itu terus berdengung, memutar bersenandung bagai simfoni yang terlukis dalam corel X7. Menemani berbagai macam usaha, peluh, kesah, dan pengorbanan untuk menjadi mahasiswa salah satu universitas ternama. Entah sudah berapa kali lagu itu di ulang terus, membuat kuping bising. Hingga akhirnya lagu yang enak di dengar itu menjadi membosankan, mengganggu, lalu terbuang dalam dasar list dan tidak pernah di putar kembali.
Beberapa
tahun berlalu. Rasanya kangen sekali merasakan alunan musik yang sudah lama
terpendam dalam ingatan. Akhirnya lagu itu muncul kembali dan dinikmati oleh
mahasiswa itu, sebuah lagu yang menghantarkannya ke bangku kuliah universitas
tujuan.
Android
Apple Pie sudah menjadi Oreo. Samsung GT-E1272 sudah menjadi
Samsung S7. Perubahan terjadi dalam nada-nada absurd dunia. Saling beradu untuk
menjadi salah satu yang terbaik untuk bisa bersaing dalam batas-batas nada yang
anggun dan terstruktur. Mahasiswa itu tengah berada di bangku kuliah,
mendengarkan sebuah lagu lewat earphonenya, berusaha menebas semua gangguan bisingnya
kelas. Matanya fokus membaca, Membawa sebuah buku bertajuk manajemen bisnis.
“apa
yang sudah kamu lakukan?” Dirinya bertanya.
“tidak
satupun, aku belum melakukan apapun” jawabnya, masih fokus membaca buku.
“sampai
kapan?”
“entahlah,
sampai lagu ini selesai diputar”
“sudah
berapa kali lagu itu selesai diputar?”
“aku
tak menghitungnya, sangat banyak”
“Pulanglah,
bukankah ada libur lima hari minggu depan?”
“tentu”
Memang
benar, tak ada hal yang paling membosankan selain berdiam diri dalam kehidupan.
Akankah semua tetap berjalan sealakadarnya. Mahasiswa itu berpikir, bahwa
dirinya tak akan mempu untuk cukup membantu dalam perubahan yang terjadi di
masa depan.
“akankah
negara ini benar-benar akan maju?” Tanya Mahasiswa itu pada dirinya.
“bicara
apa kau, tentu orang-orang tengah bergerak menyongsong generasi emas 2045”
“terlalu
lama, itu akan membuat mereka merasa santai. Kau tahu bahwa orang di negara
kita ini tipe-tipe deadliner. Bahkan tugas satu bulan saja bakal
di kerjakan H-1 jam sebelum perkuliahan di mulai”
Mahasiswa
itu Nampak khawatir. Bukan pesimis, hanya merasakan keganjilan. Melihat lingkungan
ketika dirinya balik menuju kampung halaman, biasa, sama saja, tak ada perubahan
berarti, sebelum dia meninggalkan kampungnya, hingga kini, bahkan di tiap ruas
jalan menuju ke kampungnya, semua sama saja.
“perubahan ini sangat lambat. Harusnya kita mampu
lebih cepat, lantas apa kendalanya?” sahutnya, namun dirinya tak segera
menyahutnya, menjadi sebuah pertanyaan kosong dari jawaban.
Pohon
di desa itu masih tetap sama. Dahannya selalu di tebang sehingga ukurannya
tetap dari dulu hingga sekarang. Pohon ini sudah menjadi pohon desa yang
sewaktu-waktu boleh di panen siapa saja. Buah petai keluar dari tiap dahannya. Beberapa
orang memanen lalu membawanya pulang kerumah masing-masing. Mahasiswa itu
termenung duduk dikursi bambu. Mendengarkan musik yang sudah lama di buangnya
satu tahun yang lalu. Sekarang tiap ritme nada itu sangat membuat bernostalgia.
Teringat dulu selalu memutar musik itu dikala merasa lelah belajar demi bisa masuk
ke bangku perkuliahan. Dimana Dia harus dihadapkan dengan ratusan ribu
mahasiswa lain yang juga sama mengincar satu bangku di fakultasnya.
“dan
sekarang apa? bahkan aku tak mengerti mengapa aku berkuliah” batinnya lirih. Dia
merasa bersalah, tujuannya dari awal sudah salah.
“Menimba
Ilmu? Mendapat banyak teman? Itu hanya bualan, sebuah kata manis dan beracun. Tak
ada gunanya dulu aku melandaskan tekadku pada alasan cetek semacam itu.
mebahagiakan orang tua? Justru mereka malah mengeluarkan biaya tiap semesteran.
Lantas apa dasar yang tepat untukku tetap berkuliah?” Wajah Mahasiswa itu
begitu sendu, berpikir bahwa dia telah menyi-nyiakan waktu dan hidupnya selama
ini. Masih mendengarkan musik yang sama, ketika habis disetel ulang. Berharap agar
kembali bosan dengan lagu lama itu. Namun tidak, justru lagu itu
mengingatkannya pada perjuangannya dulu, sebelum menginjak bangku perkuliahan.
“sangat
konyol, lantas apa arti perjuanganku dulu?” katanya lirih.
Sebuah
petai jatuh dari tangkai. Tak kuat lagi menopang buah yang begitu besar nan
ranum. Terurai di jalan, beberapa anak kecil memungutnya. Aanak-anak kecil
berlarian memperebutkan petai itu, berharap mendapat bagian paling banyak untuk
bisa mereka masak di rumah. Anak kecil yang sama seperti dirinya dulu.
Anak-anak
itu ada yang menangis, ada yang Bahagia mendapat petai terbanyak. Meski begitu
mereka masih bermain. Bermain permainan ala anak pedasaan yang sudah hampir
punah oleh mainan elektronik yang lebih menyita waktu dan tidak menyehatkan
badan. Mahasiswa itu tersenyum. Mengingat dulu sering bermain sepakbola di
halaman masjid itu. kadang tertawa, kadang juga menangis tersedu karena terkena
jegal lawan.
“Masa-masa
itu sudah pergi, sekarang aku duduk disini, menatap anak-anak yang lepas bercanda
ria tanpa beban. Sedangkan beban yang sangat berat sudah menungguku di depan.
“Lucunya
sampai sekarang aku tak memiliki dasar. Tak memiliki arti, sangat menyedihkan. Aku
iri pada mereka yang tidak berkuliah. Bisa merasakan puasnya kerja,
berpenghasilan meski sedikit, mendapat pengalaman hidup di luar masyarakat. Bisa
lebih bermanfaat pada sekitar karena tiap harinya selalu didedikasikan untuk
tugas bermasyarakat. Sedangkan aku… hanya bermuluk-muluk dalam kosan, melipir
ke angkringan, mengerjakan tugas yang tak berguna. Embel-embel mahasiswaku ini
sungguh menagnggu, rasanya title ini malah memberikan jarak yang cukup besar
kepada masyarakat sekitar”
Mahasiswa
itu merasa terbelenggu dengan identitasnya. Tak seperti dulu merasa lepas dan
bebas dalam tiap perubahan dunia yang mendasar. Namun sekarang dia membawa nama
Lembaga, membawa nama besar organisasi, membawa nama baik dirinya yang sudah di
kagumi di desa sebagai salah satu orang yang berhasil kuliah. Menjadi kebanggaan
yang ditunggu-tunggu karyanya.
Dia
hanya tersenyum kecut, sambil terus memutar lagu masa lalu. Menatap ke atas
dengan melihat berbgai petai ranum di atas sana. Membayangkan bahwa dirinya
selam ini ditunggu-tunggu, namun jarak, waktu, dan kesibukan tidak
mengijinkannya untuk sejenak mengurus kampung.
“Haruskah
semua itu dilakukan saat lulus, kesibukan ini sangat menanggu” katanya “aku tak
mengerti hasil yang di dapat dari kesibukan ini?”
Angin
berhembus. Debu berterbangan membuat mata keliliban, Dia sedikit jengkel.
Matanya yang pedas diusap dengan tangan. Seorang anak muda lain menuju ke
arahnya membawakan sepotong sapu tangan.
“te-terimakasih”
sahut Mahasiswa itu.
“ya
sama-sama, kapan kamu balik kesini, kok ngga kabar-kabar”
“ah,
sasa” ternyata teman masa kecilnya. Dari dulu mereka adalah saingan sepakbola antar
RT di kampung. Dan sekarang dia tak kuliah dan tengah bekerja di franchase.
“Harusnya
kamu mengabariku kalau balik, sudah lama banget kamu di kota. Apa kamu lupa
sama teman-temanmu disini?”
“enggaklah,
sorry telat ngabarin. Aku cuma ingin sedikit menikmati suasana desa yang sudah
lama hilang dari dalam diriku”
“hmm,
saiki bahasane Indonesia terus…” godanya.
“hehe
kebiasaan, lagian udah ngga enak aku ngomong bahasa ngoko ke kamu. Mana teman-teman
yang lain?”
“ini
masih jam kerja, mereka bakal pada pulang sore atau malam nanti”
“kamu
ga kerja?”
“aku
sift malam” Sasa ikut duduk, Bersama mereka melihat anak kecil yang sedang
bermain jamuran di komplek masjid.
“itu
anaknya Jaenah kan?” Kataku, sambil menunjuk seorang anak yang sangat mirip
dengan wajahnya.
“ya,
dia sekarang sudah punya suami”
“saat-saat
penting itu aku malah ngga bisa datang karena UTS”
“santailah,
kami tahu kamu sibuk kuliah”
Alhasil
Mahasiswa itu hanya bisa mengucapkan kata selamat dari WA.
“Kamu
dulu sering nguntilin dia kan kayak anak bebek”
“jangan
mengingat masa kelamku, sekarang aku sudah gak tertarik”
“haha,
iya ya” Sasa membuang nafasnya, merasa lelah dengan hidup yang tak pasti “enak
ya, bisa kuliah, dapat ilmu, banyak teman, pengalaman dan belajar. Trus kalau
kerja bisa jadi bos atau karyawan tetap”
Perkataan
Sasa membuat Mahasiswa itu sedikit terusik. “kalau kamu merasakan kuliah kamu
pasti bakal berpikir untuk berhenti deh” namun itu hanya dikatakan lewat hati. Tak
sampai kerongkongannya.
“apa bekerja itu tidak enak?” kata Mahasiswa
itu.
“kami
memang dapat gaji walau ngga seberapa. Mau maju juga susah, jadi aku paling
bentar lagi bakal mundur, nyari bisnis atau buat bisnis”
“waktumu
pasti cukup luang buat bangun bisnis”
“kuliahmu
gimana?”
“banyak
kesibukan” (tentunya kesibukan itu bukan berarti hasilnya memuaskan) Katanya
dalam Hati.
“ahh,
andai aku bisa kuliah dan belajar bisnis, pasti aku bisa lebih maju dan
mendapat pekerjaan yang lebih baik dan layak. Aku penasaran seberapa serunya jika
aku bisa kuliah”
Mahasiswa
itu hanya bisa tersenyum masam, seakan melihat dirinya dulu dimasa lalu,
sebelum dia menjejaki masa perkuliahan.
Bangsri,
18 Agustus 2019
M H A
0 komentar:
Posting Komentar