softness

Selamat datang di blogku...

Hadits

Seungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah/lelah dalam mencari rezeki yang halal.(HR.Ad-Dailami)

Tafakkur

tafakkur berarti memikirkan atau mengamati.

Road

pemandangan yang indah membantu pikiran kita menjadi indah

Al-Qur'an

Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan.Tolaklah keburukan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia. Dan, tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang-orang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi taufik itu selain orang yang mempunyai bagian besar dalam kebaikan. (Q.S. 41: 35-36)

Himbauan

jangan marah, bagimu surga

Sabtu, 27 Juli 2019

Kumpulan Cerpen ; Perubah



Peluh mengalir deras melingkupi tubuh. Siang begitu terik, menghasilkan bau prengus yang membuat tiap wanita ayu menjauh, adek-adek kecil berlari, anjing dan kucing merajuk. Menolak keberadaan si bau busuk yang tak enak dilihat, di cium, maupun di rasakan keberadaannya.

Anak kecil itu menanggapinya dengan senyuman. Menyabuti rumput liar yang tumbuh di sepanjang trotoar, menjumputi sampah-sampah yang berceceran di sepanjang jalan, lalu sorenya pergi ke kali untuk membersihkan sampah plastik yang biasa di buang disana. Semua dia lakukan dengan ketabahan, kegigihan, dan rasa Ikhlas. Malu? Untuk apa. Dia melakukan hal itu karena sadar tak bisa melakukan apapun. Tak punya niatan apalagi bermimpi untuk menjadi besar dan melakukan perubahan besar. Untuk itu dirinya hanya melakukan apa yang sekiranya mampu di lakukan. Mengumpulkan tekad untuk turun tangan mengatasi masalah lingkungan yang sering di abaikan banyak orang. sebuah pekerjaan simpel nan sepele, namun tidak mampu di selesaikan oleh orang-orang di sekitarnya.

Semua menginginkan perubahan, termasuk juga anak kecil itu. Seorang anak kecil krempeng, berbadan kecil, dan dekil. Banyak tatapan selalu menghindarinya, takut jika anak kecil itu mendekat ikut nongki bersamanya, takut kalau nanti diajak komunikasi dan takut kalau malah jadi temannya. Anak kecil itu sadar, dirinya sama sekali tak menarik. Di sekolah selalu di abaikan, tak berarti, dan tak pernah di gubris. Namun anak kecil itu tak merasa rendah diri. Meski tak menarik, toh fisiknya kuat untuk bekerja kesana-sini. Walhasil dia bekerja, berusaha mengerjakan apa yang dia bisa. Mencoba merubah dari aspek bagian paling kecil, mulai dari dirinya, lingkungannya, berusaha merubah semua hal yang sering di abaikan banyak orang.

“kenapa negara ini tak bisa berubah?” sahut ketua osis kala itu. Kerumunan itu diisi oleh para organisator terpilih dari sekian banyaknya murid di sekolah ini. Para wanita ayu berlomba-lomba memasang pose manis agar sang ketua osis memperhatikan mereka.
“lihat jepang mereka sudah di bom, namun sekarang berhasil menjadi negara kaya di asia. Lihatlah korea selatan, yang pada awal tahun 70han Cuma sanggup mengimpor rambut, sekarang sudah menjadi negara besar dengan para oppa yang sudah terkenal di seluruh dunia”
“kita ini negara besar, sumber dayanya banyak, masak kita kalah dengan mereka yang negara kecil bahkan sumber dayanya sedikit?” sahut sang ketua osis menggebu-gebu. Disusul tepuk tangan meriah dari para anggota. Bahkan guru-guru gedek-gedek kepala melihat betapa hebatnya orasi ketua osis yang sanggup memantik semangat para anggota.

            Sang anak kecil tadi hanya bisa melihat event meriah itu dari kejauhan. Dia tidak masuk osis. Bukan karena tidak ingin masuk, tapi karena di tolak masuk. Dirinya memang agak gugup ketika di wawancara, berbicara alakadarnya sehingga sang pewawancara menganggapnya tidak bisa bersosialisasi dan akan susah berkembang di organisasi. Alhasil anak kecil itu tidak di luluskan. Berbeda dengan teman sebelahnya yang bisa melakukan improvisasi. Melebihkan segala apa yang dimiliki mengenai potensi kemahiran serta sosialiasinya.

            Sang anak kecil hanya bisa terpaku. Betapa hebatnya menjadi seorang osis. Bisa mempengaruhi begitu banyak manusia, bisa mengarahkan para manusia untuk bergerak menyongsong perubahan. Bisa terlihat dari reaksi para anggota itu begitu semangat. Mereka sama-sama sepakat untuk mengongsong perubahan untuk bangsa. Namun disitu sang anak kecil tadi kebingungan. Setelah orasi selesai. Mereka bubar dan menuju ke kehidupannya masing-masing. Rumput lapangan yang tak terurus dibiarkan, paving-paving yang sudah mengelupas dan rusak hanya sekedar dilangkahi, lapangan yang tidak rata itu di abaikan.

“Apakah ini salah satu bentuk perubahan? Atau perubahan besar itu taka da hubungannya dengan perubahan yang ada di lingkungan sekitar. Ataukah malasah ini begitu sepele sehingga membuat mereka merasa tak perlu menyelesaikan permasalahan ini?” pikir anak kecil itu.

            Anak itu bingung, tadinya dia mendengar segala kata perubahan baik mental, mindset, maupun segala tetek bengek lainnya untuk menyongsong perubahan. Namun selekas orasi berapi-api itu para eksekutif malah menghilang bak ditelan bumi. Bermain dengan koloni. Berjalan menapaki hidup seperti biasa. Tak ada perbuatan. Tak ada perubahan. Agenda hanya sebatas agenda, tak menimbulkan perubahan yang berkelanjutan. Bukankah perubahan itu bisa dimulai dari hal yang paling mendasar. Untuk apa berpikir besar tapi realisasi kecil saja tidak ada?

“Dimanakah perubahan itu?” tanya si anak kecil pada ketua osis.
“sabar, perubahan besar itu tidak datang sekejab mata. Perlu proses. Kalau kamu kurang sabar, ya Namanya kamu tidak menghargai proses. Makanya belajar yang pinter dulu, buat prestasi, jangan Cuma nganggur. Jangan Cuma menanti hasil. Makanya Indonesia ga maju-maju. Berbuat untuk menyongsong perubahan, jangan Cuma plonga-plongo aja” anak kecil itu malah yang kena ceramah oleh ketua osis.

Anak kecil itu termenung kembali semenjak terkena makian ketua osis. Ya ketua osis benar, dia harus meningkatkan kapasitasnya. Namun itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Bukankah mereka melihat sekolah ini harus segera dibenahi, harus segera diperbaiki? Mengapa harus menuju yang besar sedangkan kerikil di pelupuk mata tidak disingkirkan.

“bukankah perubahan yang besar berawal dari perubahan yang kecil? yang biasa orang sepelekan? Mengapa selalu melihat yang besar? Pantas saja banyak orang selalu menyerah dan tak kuat berjuang karena tak sanggup membuat perubahan besar. Padahal mereka bisa melatih diri di perubahan kecil yang biasa di temui setiap hari” batinnya. Anak kecil itu tidak ingin berdebat dengan para eksekutif itu lagi. Dirinya sadar kemampuan komunikasinya lemah, otomatis dia bakal kalah dan malah menjadi bahan bulian disana.

            Pagi itu, matahari belum sepenuhnya terlihat. Langit masih berwarna putih dengan angin dingin yang menerpa kulit. Sekolah masih belum buka. Dan sekitar satu jam anak itu memiliki waktu longgar disini.

“Apa yang hendak dilakukan anak itu?” Tanya sang jangkrik. Seekor binatang yang sedang hinggap di salah satu rumput lapangan. Jangkrik itu tak pernah sekalipun melihat seorang menyabuti dan menata rumput di lapangan ini selama dua bulan keberjalanan hidupnya. Bahkan kakek dari sang kakek jangkrik pun menceritakan bahwa lapangan ini masih ajeg selama seratus generasi keberjanan jangkrik di tempat ini.
“tumben ada yang mau kerja, biasanya nih lapangan terbengkalai kayak ampas” kata belalang. Hinggap di rerumputan dekat jangkrik berada.
“mereka mungkin akhirnya pada sadar, masak mereka ya ngga peka melihat lingkungannya amburadul kayak gini” sahut si jangkrik.

            Anak itu mencabuti rumput satu persatu, menata paving yang amburadul, membersihkan sampah plastik disana-sini. Menanam dan menyirami rumput. Menambal lubang serta memangkas tanah yang jendul. Setelah satu jam berlalu, dia stop kerjanya. Sisa kerja yang akan di lanjutkan di hari-hari selanjutnya.
***


            “BERITA HEBOH!” Jerit Pelatih sepakbola Sekolah, langsung nyelonong dan menjerit di ruang guru.

“gimana pak Joni? Sekolah kita kalah lagi?”
“Bukan!”
“banyak siswa kita cidera gara-gara lapangan jelek?”
“Bukan!”
“lha apa, cepet ngomong! Jangan buat saya menunggu”
“itu, lapangan kita!”
“kenapa lapangannya?”
“sekarang sudah kayak stadion di GBK, rumput, paving, tanahnya semua bagus seperti baru!” lapornya.
“AJAIB. KOK BISA!” kata sang guru sangat terpukau.



Sabtu, 27 July 2019

M         H         A

Jumat, 26 Juli 2019

Menjadi Inisiator Perubahan



            Apa yang melatar belakangi seorang bisa sangat produktif? Bisa sangat kreatif? Bisa sangat tabah serta gigih? Bisa sangat sukses meski segala keterbatasan menghadang? Kadang sebuah hambatan adalah pemantik yang paling baik untuk menyalakan potensi manusia. Sebuah keadaan yang mengancam membuat diri secara otomatis bereaksi untuk mempertahankan diri.

            Ketika seorang terdesak, maka daya motoric yang ada dalam otaknya akan bekerja keras dalam berfikir. Mengamati segala fenomena yang tengah di deranya. Menyimpulkan kejadian yang selalu menyakitinya. Kemudian sesegera mungkin menemukan sebuah solusi taktis yang saat itu juga harus dia realisasikan dengan tindakannya.

            Dari sebuah keadaan yang mencekam, terkadang sebuah solusi dan produktifitas hadir membawa perubahan yang signifikan. Seperti sebuah keajaiban, seketika dampaknya sanggup untuk  memperbaharui lingkungan disekitarnya. Menjadi seorang inisiator handal adalah ketika melihat ancaman sebagai peluang besar untuk mengentaskan diri dari keterpurukan. Walhasil dia dapat melejit bahkan membantu orang-orang di sekitarnya ikut melejit dengan segala gagasan dan upaya yang dilakukannya.

            Banyak orang merasa masa bodoh dengan lingkungan yang ditinggali. Mungkin karena sudah puas dengan segala kenyamanan yang hadir di sekelilingnya, sehingga menumpulkan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Membuatnya jadi seorang pemalas, mental passenger dan hanya bisa menangis ketika kenikmatan itu lenyap ditelan gurami. Berbeda dengan mereka yang gigih berusaha, menghadapi segala keadaan serba sulit dan mencekam. Pola pikir mereka terasah, kemampuan strategi mereka berkembang, kegigihan mereka tiada habis di keluarkan, luapan ide-ide baru bermunculan, dan tubuh begitu ringan melaksanakan tiap ide yang telah di pikirkan. Semua itu karena kondisi, sebuah keadaan dimana manusia dituntut untuk keluar dari zona nyaman.

Banyak sekali permasahan yang begitu kompleks mewarnai negeri ini. Mulai dari kemiskinan, Pendidikan, pengangguran, kemacetan, lapangan kerja, tata kota, utang, dan lain sebagainya. Semua berkutat dalam masalah yang saban hari harus mereka pikul. Seperti sudah tidak ada rongga lagi bagi senyuman dan kepuasan dalam sanubari mereka, yang ada hanya ratapan kepasrahan atas segala hal yang menimpa.

Namun banyak juga orang yang berusaha merubah keadaan dari lingkungan terkecil mereka. ada yang baru tahap merubah perilaku pribadi, ada yang sedang merubah satu orang sahabat dekatnya agar Bersama-sama menuju kebaikan, ada yang membuat komunitas tertentu untuk membantu beberapa tingkat masyarakat. Ada yang secara diam-diam mondar-mandir kesana kemari hanya untuk melatih, mengajar, maupun menyelesaikan problem yang bisa dia atasi saat itu. semua bergerak dalam bidangnya masing-masing, dalam bidang yang mereka kuasai dan mereka bagikan ke orang lain.

            Jangan menjadi apatis. Banyak saudara yang menanti karyamu untuk menolong mereka dari berbagai permasahan. Anda ditunggu, kontribusi anda di nanti. Jangan tunggu perintah karena kesadaran ada dalam diri individu itu sendiri. Keluar dari zona nyaman, jika tidak bisa, buatlah situasi yang tak nyaman. Jadikan lingkungan sekitarmu bagai padang rimba atau gurun tandus yang gersang. Jadikan pikiranmu kalut dengan masalah, terpantik dengan problem yang harus segera diselesaikan. Jadilah seorang yang peka, hadapilah realitas yang ada di sekilingmu. Berpikir! Maka solusi pasti akan hadir. Lakukan! Dengan kegigihan, walaupun gagal kau akan bangkit lagi untuk meraih keberhasilan. Ayo maju! Ayo bangkit! jadilah produktif! Jadikan hidupmu semakin berarti.



M         H         A

Kamis, 25 Juli 2019

Siapkah Kita dengan Perubahan?



            Siapkah kita ketika dihadapkan pada perubahan? Ataukah kita hanya berpura-pura tak tahu atau mungkin berharap agar tidak terjadi perubahan. Karena sejatinya perubahan yang baik adalah yang mengarahkan menuju hakikat kehidupan yang sejati. Bukan malah memperburuk dengan realitas semu yang nyatanya merusak tata sistem dunia ini.

            Semua merasa bisa beradaptasi. Merasa diri sanggup berubah di medan manapun, di posisi manapun. Namun lucunya mereka sagat sulit merubah diri mereka sendiri ke arah yang lebih baik. Itu menjadi paduan yang tak sinkron manakala dirinya menuntut lingkungan supaya berubah menjadi baik, sedangkan dirinya masih saja berkutat pada keterbelakangan tanpa adanya usaha untuk merubah diri.

Lucu? Memang, mereka berpikir sudah berusaha, sudah menuju proses, sudah melakukan ini itu tanpa kenal lelah. Tapi seberapa cepat proses itu berjalan? Sudah berapa persen proses itu dilaksanakan? Bayangkan saja ketika kita mendownload sesuatu, dan kelarnya lama, masih berkisar satu persen. Padahal data yang di download 20 Giga. Dituliskan disitu akan selesai di Download satu hari lima jam! Pasti sudah banyak orang akan men-cancel nya tanpa pikir Panjang. Orang itu pasti akan beralih menuju Wifi.id yang jaringannya lebih cepat. Sehingga ketika mendownload data besar akan terasa nyaman.

Begitu juga dengan diri, seberapa cepat kita mengisi kapasitas diri? Bukankah kita siap dengan perubahan? Menginginkan perubahan yang lebih baik? Lantas kenapa kita tak sanggup merubah suatu hal yang sangat mendasar yakni diri sendiri? Sok-sok an mengurus yang lain, berkomentar sana sini ketika melihat problem. Memandang orang lain rendah ketika berbuat salah dalam tindakannya. Tanpa sadar jika diri ini sebenarnya juga banyak salah, banyak ngawurnya, ga peka, dan bisa jadi diri ini lebih buruk dari orang lain yang dikomentari.

Merubah lingkungan menjadi lebih baik memang penting. Namun jangan lupa bahwa diri juga perlu dibina untuk melakukan perubahan tersebut. Karena sebuah perubahan tidak bisa didasari hanya dengan kata-kata bualan belaka. Perlu adanya action, bahkan diri sendirilah yang harus mengawali action tersebut. Jika semua saling menunggu seorang untuk beraksi. Maka akan memakan waktu lama, bahkan agenda perubahan tersebut tak akan terealisasi alias hanya akan menjadi wacana.

Faktor utama untuk merubah keadaan dan siap menerima perubahan, adalah manakala bisa berfikir dan sadar peran kita, terus mengisi kapasitas diri menjadi layak, bersikap terbuka dan fleksibel dengan keadaan sosial, sanggup mengendalikan diri serta berusaha merubah diri ke arah yang lebih baik, mampu berfikir akan perlunya perubahan kemudian di realisasikan dengan tindakan nyata. Sehingga dengan berbagai hal tersebut kita akan meraih sebuah dukungan. Masyarakat tak sekedar melihat kata-kata perubahan yang kita gelontorkan, namun sikap dan tindakan kita juga ikut mendukung perubahan yang dikatakan. Sehingga antusias relasi akan terbangun dalam membantu kita menghadapi perubahan tersebut.


Wallahu’alam…

Amanah Memimpin itu Berat



Amanah itu berat, saya pasti akan menabok orang yang bilang itu ringan. Saya merasa sangat khawatir ketika sebuah amanah berupa jabatan selalu di perebutkan. Karena ketika seorang menjabat sebuah divisi, organisasi, menteri, atau presiden. Maka rasa bangga akan tercipta dalam diri. Merasa lebih hebat, lebih baik, dan lebih besar kuasanya dari pada yang lain. amanah jabatan yang mereka pikirkan seperti sebuah restu Tuhan yang digelarkan di pundak mereka. Alhasil mereka merasa bangga dan akhirnya berusaha mati-matian untuk mendapatkannya.

            Memang bentuk amanah beraneka macam, Arti dari amanah ini sendiri adalah terpercaya. Oleh KBBI, kata amanah ini disamakan dengan kata setia dan diartikan sebagai sifat yang bisa dipercaya, sesuatu hal yang bisa untuk ditipkan atau dipercayakan pada orang lain dan sebagainya. Sehingga seorang yang diberi amanah, hendaknya memiliki rasa tanggungjawab dengan apa yang di amanahkan padanya. Semisal contoh ada yang menitipkan sendal, itu termasuk amanah. Ada yang menitipkan modal usaha, itu juga amanah. Dan yang terakhir adalah jabatan, saya rasa itu adalah amanah yang paling berat.

            Setiap pemimpin selalu dimintai pertanggungjawaban. Entah itu saat rabes di periode akhir, ataupun penghakiman di akhirat kelak. Untuk itu seharusnya menjadi seorang pemimpin dan seorang yang memiliki jabatan harusnya memiliki rasa ketakutan dalam diri, rasa was-was jikalau dia tak bisa maksimal dengan amanah ini. Bahkan ummar ketika menjabat sebagai khalifah saja berjuang keras agar rakyatnya tidak menderita, tidak ingin memakan daging selama rakyatnya masih ada yang memakan roti kering dicampur zaitun. Lantas mengapa zaman sekarang justru mereka sangat bangga dan merasa besar dengan jabatan. Apa yang membuat seorang menjadi arogan dan tidak melihat dampak besar dari amanah yang di emban?

            Pemimpin yang arogan dan merasa berkuasa terkadang tak memperhatikan amanah yang disematkan kepadanya. Padahal sejatinya seorang pemimpin adalah melayani mereka yang telah memilihnya berada di posisi tersebut. Tak ada posisi atas dan bawah, yang ada hanyalah mereka pemberi amanah dan pemegang amanah. Memang sifat pemimpin adalah mengayomi jundi serta jundi harus taat kepada pemimpin. Namun disisi lain pemimpin harus siap menanggung resiko paling depan ketika sebuah problem menerpa masyarakatnya.

Bicara soal jabatan, Umar bin Khattab pernah berpidato yang penjabaran isinya adalah sebagai berikut :

 Pertama, jabatan adalah sebuah tanggung jawab yang tidak perlu diperebutkan. Apalagi sampai meneteskan darah manusia.

Kedua, Sayyidina Umar mengakui kalau dirinya keras, kasar, lemah, dan penuh dengan kekurangan. Oleh karena itu, dia berdoa kepada Allah untuk selalu membimbingnya menjalankan amanah tersebut.

Ketiga, menjadi pemimpin dan yang dipimpin adalah ujian. Sayyidina Umar sadar bahwa menjadi pemimpin itu adalah ujian. Begitupun mereka yang dipimpin. Oleh sebab itu, baik pemimpin atau yang dipimpin harus saling mengingatkan agar apa yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah.

Keempat, tugas pemimpin adalah menyelesaikan persoalan rakyatnya.

Kelima, siapa yang berbuat baik maka akan mendapatkan balasan yang baik. Begitupun sebaliknya. Sesuai dengan firman Allah dalam QS az-Zalzalah.

            Untuk itu, hendaknya ketika seorang diamanahi sebagai pemimpin, harusnya dia sadar posisinya seperti seorang yang tengah berjalan di jalanan sempit di tepi jurang. Posisi yang sangat berbahaya dimana dirinya dituntut untuk menyelesaikan problematika ummat. Memberikan sebuah kontribusi yang akan menghantarkan ke arah perubahan yang lebih baik. Bukan justru malah berbangga diri serta merasa besar.


Wallahu’alam…

Upgrade diri itu bernama Masalah



Manusia yang hidup di dunia dituntut untuk sanggup keluar dari berbagai macam masalah. Manusia justru memandanga sebuah cobaan maupun masalah hidup itu sebagai sebuah kejadian yang tidak mengenakkan dan harus dihindari. Merasa pesimis dan tak percaya diri dengan diri ketika masalah itu datang menghampiri.  Takut-takut semisal mereka gagal, takut salah, takut tindakan mereka menyalahi aturan, takut sakit, serta tak mempercayai dengan kemampuan yang diberikan tuhan kepada mereka. Mereka tak memiliki upaya menghadapi cobaan dan larut dalam suasana baper. Tak ayal sedikit orang yang maju dan banyak orang menggalau tiada henti meratapi nasibnya sendiri. Mereka tak bisa belajar, tak mampu untuk berfikir. Sehingga membuat mereka semakin terpuruk dari hari kehari. Membuat mereka tak pernah maju dan selalu terkurung dalam Comfort Zone nya masing-masing.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. 29:2)

Esensi dari cobaan dan masalah yang menduru kita adalah sebagai ajang dari optimalisasi diri. Untuk membuat diri semakin kuat, semakin terlatih dan tidak lembek kek ndok dadar. Untuk menjadi seorang yang kuat, tentu memerlukan proses Panjang nan ribet. Tidak serta merta jadi atau tujuan kita tercapai begitu saja. semua perlu di usahakan. Salah satu dampak usaha dari hasil tujuan kita yakni bernama masalah.

Masalah hadir untuk membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik. Namun pada kenyataannya manusia memang makhluk yang sangat egois – Pengen enaknya saja. mereka berkhayal tinggi, berharap saban hari untuk sukses di kemudian hari. namun usaha mereka hanya sebatas start kemudian hilang di terpa angin. Tak ada perubahan, yang ada malah penyesalan, rasa malas, serta tak henti-hentinya mengumpat keadaan. Merasa sebuah kegagalan adalah akhir dari segalanya. Menganggap segala macam usahanya itu sia-sia belaka.

Banyak orang Berusaha menghindar dan meringkuk dalam kehidupan. Selalu menghindari masalah justru akan menembah beban itu sendiri. Karena masalah tak akan hilang dengan cara dihindari. Justru masalah itu akan tetap tersimpan hingga menggunung. Bukankah Allah sudah berpesan bahwasanya manusia itu diuji sesuai dengan batas kemampuannya.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2:286)

Namun manusia selalu saja menyerah sebelum sempat mengeluarkan potensi terbaiknya. Untuk itulah mereka tidak bisa berkembang. Dan ketika mereka sadar diri mereka biasa-biasa saja. mereka malah menyalahkan nasib, menyalahkan keadaan, menyalahkan semua yang taka da hubungannya dengan masalahnya. Padahal kenyataan masalah yang paling besar berawal dari dirinya sendiri. Dia tak sadar itu. karena itulah manusia, mereka tak mau di persalahkan. Sehingga walhasil mereka menjadi manusia yang selalu merasa tak puas, merasa tak berguna hidup, selalu memprotes, selalu jadi bad society.

Pemikiran seperti apa yang mendasari manusia sebegitu takutnya dengan masalah? Berifikir untuk sebisa mungkin meminimalkan masalah dalam hidupnya. Tak ingin mengambil resiko lebih besar dari apa yang kiranya mereka sanggupi. Padahal nyatanya mereka masih bisa lebih. Namun sudah puas dengan diri mereka yang standar. Tidak ingin maju lebih jauh karena takut menanti rintangan yang lebih berat ke depan. sejak kapan mental ini terbangun? Menghindari masalah bukan perkara untung, justru malah buntung.

Aspek yang harus diperhatikan adalah mengenai hati dan ruhani dalam diri. Saat ini sudah banyak dari mereka yang sangat mendewakan ilmu, mendewakan sistem, mendewakan segala macam hal yang di buat manusia. Dan ketika mereka kehilangan itu mereka merasa sangat hampa. Apa gerangan? Ternyata faktor utama terdapat di ruhani. Yang mengubah mindset dan cara pandang manusia itu sendiri. Terlalu duniawi sehingga mereka tak pernah percaya dengan adanya alam lain. Mereka tak sadar telah kehilangan jiwa yang menyambung kepada sang pencipta. Rasa arogan kepada segala macam yang bersifat materialistic menghilangkan pandangan murni mereka pada sesuatu yang bersifat absurd.

Tak heran banyak sekali terjadi kerusakan dan degradasi moral di lingkungan kita. Salah satu sebabnya ialah jauhnya orang itu dari agama. Jarang saya lihat seorang yang taat mengalami depresi serta melakukan penyimpangan moral dan sosial. Justru mereka yang tak bisa mendalami kehidupan hanya sebatas melihat sampul hidupnya saja. Sejatinya isi nya mereka tak mampu lihat. kendati dimikian, itulah yang membuat mereka menjadi terombang-ambing. Dan ketika masalah menerpa, mereka kehilangan arah, menganggap diri mereka tak berarti, tak ada pegangan dan seorang yang membantu.

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. 12:87)

            Kuncinya adalah dari dalam diri, buat dirimu tersambung kembali dengan sang pencipta. Hidup tidak hanya sebatas diisi dengan ilmu duniawi, karena sejatinya itu belum lengkap tanpa ilmu akhirat. Begitu juga sebaliknya. Saling melengkapi adalah dasar dari alam semesta ini tercipta. Laki-laki dan perempuan, siang dan malam, matahari dan bulan, api dan air. Hal itulah yang menjadikan keseimbangan. Termasuk bagaimana kita bisa mengatur keseimbangan diri ketika menghadapi sebuah masalah. Karena sejatinya masalah hadir untuk meng-upgrade diri untuk menuju stage selanjutnya. Dan ketika gagal, jangan langsung menyerah, bukankah kita masih hidup? Masih bernafas? masih bisa berfikir dan mencoba? Lantas apa yang membuat kita berhenti berjuang ketika kesempatan untuk merubah itu masih ada? Pikirkan.


Wallahu'alam...

Selasa, 16 Juli 2019

Makna Kata



Kursi? Apa itu kursi? Apa yang terbayang dalam pikiran ketika kita sebutkan kata kursi? Sebuah benda yang terbuat dari kayu. Sebuah benda yang biasa digunakan untuk duduk? Lalu pensil. Apa itu Pensil? Apa yang terbayang dalam pikiran ketika kita sebutkan kata pensil? Sebuah benda yang terbuat dari kayu, yang di dalamnya terdapat graffit berbentuk silinder kecil. yang biasa digunakan ketika menulis.

            Apa yang menyebabkan sebuah kata bisa berkolerasi dengan bayangan yang ada di dalam pikiran? Apa yang memaknai sebuah benda sehingga sebuah kata saja bisa memantik gambaran objek yang pernah terlihat oleh mata?

            Setiap kata mengandung makna, dan ketika kata itu tak bermakna, maka kata tersebut tak akan dapat memantik suatu objek apapun dalam pikiran. Lalu, apa yang akan terjadi ketika kata tersebut mengandung unsur abstrak? Sebuah kata yang absurd? Yang dimana kita tidak pernah tahu bentuknya seperti apa? Itulah kata kerja. Kita tak tahu bentuknya, namun tahu cara kerja dari katanya. “Mengejar” apa itu mengejar? Kita tak akan bisa mendiskripsikan bentuknya. Namun kita tahu maknanya. Yakni kita akan membayangkan “mengejar” adalah sebuah kata yang digunakan ketika berlari untuk menyusul sesuatu. Seperti mengejar maling, mengejar penjual es tung-tung, dan sebagainya.

            Ketika sebuah kata terucap. Dan ketika otak kita connect dengan makna kata yang terucap. Seakan kita merasakan sebuah sensasi yang ada di dalam kepala, sebuah bentuk kepahaman akan sesuatu. Sebuah pengertian yang membuat mudeng. Dan itu terpantik begitu saja dalam impuls otak kita. Lalu, mengapa saya harus repot-repot menjelentrehkan pengertian kata sebegitu rumitnya. Seperti yang tertera di atas? Jujur, banyak orang yang menyepelekan mengenai sebuah “makna kata”. Mereka tak peduli dengan betapa potensialnya sebuah kata yang terucap, sebuah kata yang terketik, dan yang tertulis dimana-mana.

“Kata” mewakili peradaban. Peradaban ada oleh susunan kata yang membentuk kalimat, lalu semakin banyak menjadikannya paragraph. Dan semakin banyak yang kemudian menghasilkan sebuah buku. Tiap kata mencerminkan pengertian. Dan sebuah pengertian bagaikan kode yang memantik sirkuit otak untuk beraksi. Objek atau Suatu system di dunia ini yang terbentuk, akan segera di lebeli sebuah kode berbentuk “kata” dimana ketika kode itu terucap maka langsung otak akan memproses makna yang tepat dari apa yang kita ketahui mengenai kode “kata” yang telah di lebeli itu.

Luar biasa, bahkan sebuah kalimat saja mampu membuat dampak yang luar biasa.
“I love you” bayangkan seorang yang kamu cintai mengatakan itu di hadapanmu. Maka, tentu kita menjadi sangat senang dan hati akan berbunga-bunga. Apa yang menyebabkan reaksi itu muncul pada diri kita? Sebuah kata, sebuah kata yang membentuk kalimat, kalimat bermakna yang tertangkap oleh impuls otak kita. Yang di proses kemudian dimengerti oleh kita. Dan akhirnya menimbulkan reaksi dari kata yang terucap tadi.

            Lalu apa hebatnya? Saya sudah tau? Mengapa perlu dikasih tau? Tenang, justru karena anda sok tahu sehingga anda tak bisa menghargai hebatnya kata yang dipahami oleh manusia. Kita tahu betapa banyak rangkaian kata yang tercipta di bumi. Baik yang sudah ditemukan, yang belum ditemukan, maupun kata yang telah punah di masa lampau. Kata itu bagaikan code script yang tiap kombinasinya menghasilkan sebuah keajaiban reaksi. Dan ketika kombinasi kata tersebut tak sinkron dan terkesan samar. Tubuh akan menolak reaksi dengan eskpresi ‘bungung’. Begitu juga ketika kita meng input code program computer asal-asalan. Computer akan menolak dan bingung dengan perintah itu. Sehingga tidak ada reaksi yang dihasilkan.

            Jadi kalian sudah tahu betapa hebatnya makna kata, betapa luar biasanya fungsi kalimat, sebuah kalimat yang terucap dapat membuat hati manusia menangis, dapat membuat hati manusia merasa bahagia, bahkan sebuah kata juga dapat menimbulkan peperangan. Jadi ketika kita mengetahui makna kata. Tentu kita harus hati-hati dan bijak dalam menggunakan sebuah ‘kata’ ini. Karena semua kata yang tercipta baik secara tulisan, ketikan, maupun ucapan akan berpengaruh ke dunia luar sebagai suatu respon perintak atau code yang biasa diinput ke computer.


Rabu, 10 Juli 2019

Kumpulan Cerpen; Orang Asing (2)




            Kehampaan ini perlahan hilang. Sepasang tangan mulai menepuk pipiku pelan. Dengan berat mataku terbuka. Sinar matahari merembes masuk ke dalam retina, samar, penglihatanku belum sepenuhnya pulih. Butuh beberapa detik sampai akhirnya aku bisa melihat siapa yang ada di depanku.

            Seorang yang anggun dengan pakaian serba putih, berambut putih Panjang menjuntai dihempas angin. Mata hitam yang bening dengan bibir mungilnya tersenyum ke arahku.
“akhirnya kau sudah sadar, segeralah bangun dan lihatlah sekelilingmu” sahutnya.

Aku bangkit dengan segenap tenaga yang tersisa. Kulihat rimbunan padang rumput terhampar sejauh mata melotot. Dihiasi oleh beraneka macam bunga berwarna-warni. Sungai berkelok mengalirkan air jernih, bersih, meluncur ke arah hutan cemara rimbun yang tumbuh lebat di utara. Mataku berbinar. Aku berdiri supaya bisa lebih melihat keindahan alam di sekitar. Luar biasa. Inikah Alam Aisituru?

“aku akan meninggalkanmu disini. Berjalanlah ke arah Selatan menyusuri jalanan setapak ini, beberapa jam berjalan kau akan menemukan sebuah desa disana. Kuharap kau akan menemukan sesuatu yang bagus” kata Sang wanita itu. belum sempat aku melontarkan berbagai pertanyaan dia sudah menghilang begitu cepat dari hadapanku.
“sial” pekikku. Baru sampai aja udah langsung di tinggal pergi.

            Aku menghela nafas. Berusaha mengikuti intruksi yang di berikan barusan. Yang bener aja, pikirku, berjalan selama satu jam itu bakal menguras tenaga. Mungkin ini semacam pelatihan atau apalah, tapi bukankah ini terlalu berlebihan bagiku yang hidup sebagai anak perkotaan.

            Aku tak ingin menghabiskan tenagaku untuk berpikir negatif, mungkin semua ini sudah terbayar dengan pamandangan alami yang teramat indah. Namun  dalam fikirku masih agak ragu. Apakah benar aku sudah berada di dunia lain? Ini tidak bisa di percaya. Otakku perlahan dipenuhi berbagai pertanyaan yang hadir, mulai dari apakah aku bisa keluar dari sini? sampai apakah nantinya aku harus melawan raja iblis yang sama seperti apa yang sering aku baca di komik dan novel itu? atau mungkin dunia ini sama seperti duniaku dulu yang tidak mempunyai sihir maupun orang berkekuatan aneh? Aku sama sekali tidak tahu apapun. Tak mengerti apapun. Tak ada yang bisa ku lakukan selain hanya mengikuti alur perjalanan ini sampai menemukan jawaban yang sesungguhnya.

            Satu jam berlalu. Aku kaget karena staminaku tak kunjung menurun. Tak merasakan capek sama sekali. Rasanya aku bisa berjalan seharian kapanpun aku mau.
“luar biasa” kataku, kini sebuah desa yang dijanjikan sudah ada di depan. Akhirnya aku menemukan manusia lain selain diriku.

            Aku mendekat ke salah seorang petani yang cukup muda, sedang sibuk mengurusi ladang.

“assalamualaikum” sapaku padanya.
Anak muda itu melengok ke arahku dengan muka bingung. Jelas saja, mungkin aku dianggapnya orang asing disini. Atau jangan-jangan dia takt ahu bahasaku.
“ada yang bisa saya bantu?” katanya. Oh ternyata bahasanya sama denganku.
Entah aku yang menyesuaikan Bahasa disini atau memang Bahasa disini yang menyesuaikan. Melihat kesempatan ini, mungkin aku perlu mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.
“aku tersesat dan kehilangan ingatanku. Adakah orang yang bisa menolongku?”
“hmm, ini adalah kejadian yang jarang sekali terjadi, aku tidak bisa banyak membantu. Tapi aku bisa membawamu ke kepala desa kami. Semoga beliau bisa membantumu untuk mengatasi masalahmu”
“ohya, aku akan merasa tertolong sekali, terimakasih”
Pemuda itu meletakkan cangkulnya dan mencuci tangannya dengan air ladang yang mengalir bersih. Lalu mendekat ke arahku dan mulai mengantarkanku menuju ke tempat kepala desa.

            Rumah-rumah berjajar rapi nan sederhana, beratap dedaunan dan bertembok tanah liat, namun terpandang asri. Hamparan jalan hanyalah tanah liat. Mungkin di musim penghujanan akan becek mengingat tak ada aspal. Sudah beberapa kali kami menemui persimpangan. Orang-orang disini menatapku dengan asing, mungkin pakaianku yang teramat berbeda dengan mereka. Atau mungkin mereka terpesona melihat wajahku yang tampan, siapa yang tau.

“disini rumahnya” sahutnya sambil menunjuk rumah yang ada di depan “ayo masuk” lekas dia melangkah duluan dan aku mengikutinya dari belakang. Rumah yang lebih besar dari yang lain. Setelah masuk ke dalam, terdapat seorang tua yang sedang duduk bersila di lantai, seperti sedang menunggui seseorang.

“kesini nak, sudah lama aku menunggumu” ucapnya tanpa basa-basi.
Aku tertegun ketika kakek itu berkata seperti itu, begitu juga dengan pemuda yang mengantarku. Dengan ekspresi takut dia cepat-cepat ijin untuk pamit dan lekas pergi keluar dari rumah. Kini tinggal aku dan kakek itu yang ada di dalam.
“anda… menunggu saya?” tanyaku memastikan.
kakek itu mengangguk mantap. Tangannya menepuk lantai yang ada di depannya. Mengkodeku agar duduk disitu. Aku turuti saja dan lekas duduk disitu. Kami saling berhadapan. Sekujur tubuhku menegang disaat melihat tatapan tajamnya ke arahku.
“tak kusangkan hari yang telah di janjikan itu datang juga, kukira itu hanya dongeng turunan yang tak akan pernah terjadi selama-lamanya”
“maaf, sebelum itu, bisakah aku tahu rinciannya, mengapa kakek bisa menungguku, kuyakin aku tidak memiliki kepentingan disini, apalagi saya baru kenal kakek semenjak tidak ada sepuluh menit yang lalu”
“ha ha ha ha. Kau akan terkesan jika mendengar cerita ini, sebenarnya ada cerita rakyat yang menjelaskan bahwa akan ada seorang pahlawan yang akan turun melewati desa ini”
“mengapa kau sangat yakin bila aku adalah pahlawan itu?”
“lihat cincin yang ada di tanganku ini”
Kulihat sebuah cincin berbatu hijau, bersinar terang disitu.
“sinar ini menandakan jika pahlawan itu sudah datang, Dan ini adalah cincin legenda yang diwariskan secara turun temurun di desa ini”

Aku hanya bisa menelan ludah mendengar penjelasan darinya.


Minggu, 21 Oktober 2018
M         H         A

Kumpulan Cerpen; Orang Asing



            Kita bagai seorang asing, mengembara bagai angin, yang melaju kencang menerpa dahan dan ranting. Kita disini, berada disini, terhempas oleh desiran ombak, lenyap di tepian, dan kembali ke lautan. Angan menyanggah, jika hidup hanya sebatas merealisasikan tujuan dan harapan, tak perlu ada kegagalan serta rasa sesal. Karena warna hidup dapat diraih ketika seorang berada dibawah.

Keinginan melebur dalam semangat yang tercipta di dalam jiwa. Kita bertemu, berjumpa, dalam ketidaktahuan dan bermula dari ketiadaan.

            Bisakah kita bercakap dalam sekat yang menutup rapi pintu-pintu itu. Dalam lantunan syahdu lagu yang berdendang di hari itu. Hati menepis angan yang nyatanya melenakan. Pengembaraan tak sebatas untuk memperoleh kasih yang ada di dunia. Namun lebih jauh dari itu, lebih besar dari itu. Hubungan dengan sekitar dan secara universal menuntut kita untuk mencinta tiap makhluk yang tercipta.

“hari lalu aku ingat saat terakhir kali kamu merasa lesu. Hidupmu seakan pupus bagai kue basi yang siap di buang kapanpun” ungkapnya tanpa basa-basi.
Aku hanya mendongak ke atas dan melihat kawanku itu. membawa dua kaleng coffe latte yang aku pesan lima menit sebelumnya.
“Sampai sekarangpun aku juga terlihat lesu” jelasku, sambil mengambil kaleng coffe latte yang ada di tangan kanannya. Dia duduk di sampingku. Membuka penutup kaleng dan menyeruput isinya.

“ahh… maknyuss…” katanya sambil menampilkan muka gateli.
Aku melakukan hal yang sama dan meneguk kopi nikmat di dalamnya.
“Ah….” Kataku. Meneguk  sekaleng kopi di malam hari memang luar biasa mantap.
“Hei” dia membuka pembicaraan, aku melengok ke arahnya.
“ada apa?” sahutku
“aku pengen tahu, bagaimana nasib hubunganmu sama si dia”

Dahiku berkerut, sebenarnya aku tak ingin membahas topik ini sekarang, namun karena dia sahabat karibku yang paling dekat, akhirnya aku katakan saja. “sudah pernah kujelaskan sebelumnya kan. Aku tak memiliki hubungan apapun dengan perempuan untuk saat ini. Walaupun ada, pasti aku lebih memilih diam dan memendamnya dalam hati. Menunggunya tumbuh di saat yang tepat, sampai akhirnya bersemi pada waktunya”

“hilih, jadi intinya kamu bener-bener ga ada rasa sama sekali sama perempuan yang diiusakan itu?”
Aku menggeleng mantap. Sampai sekarang pun aku bingung mengapa hal seperti ini bisa menyebar begitu cepat. Lebih cepat dari gelang karet yang di jepretkan pada seekor cicak, dan itupun ngga kena.
“fokusku sekarang adalah berbenah dan berbenah. Kau tahu sendirikan, aku tak memiliki waktu dengan urusan cinta. Aku sudah dewasa dan bisa memilih prioritas yang mungkin akan aku lakukan kedepannya”
Temanku satu itu memandangku lekat-lekat. Nampak dirinya tak ingin membantah, namun dia mengatakan sesuatu “tapi sebagai orang normal tentunya kamu pasti juga punya rasa pada seseorangkan”
“tentu” jawabku “namun itu bukan prioritasku sekarang. Biarlah dia tertanam dulu dalam kedalaman hati. Biarlah Tuhan yang mengatur dia tumbuh, berbunga dan bisa kupetik atau justru terpetik orang lain”

Lama waktu berlalu. Angin tak hentinya berhembus mengibarkan bendera partai. Partai yang kalah bersaing dan kini diburu masa. Beberapa saat kupikir segala hal yang ada di pemilu akan berakhir ketika presiden di lantik. Namun, tampaknya masih akan ada season duanya. Kalengku sudah kosong, begitu juga dengan temanku.
“Helmy, mau jalan-jalan sebentar ke taman smart?” pintaku. Tanpa pikir Panjang dia mengangguk setuju.

Kami berjalan menyusuri aspal lembut nan abu-abu. Suasana lenggang dan sepi menghempas bersamaan dengan udara dingin malam ini. Setidaknya aku ingin setiap hari seperti ini. Namun kurasa itu hampir tidak mungkin. Mengingat penduduk disini begitu banyak, hingga jalanan tak memiliki celah untuk seorang tua menyebrang ke ujung sisinya.

“awas jeglongan tuh di depan!” sahut temanku sambil menarik bajuku ke sisi lain. Dan akupun terhindar dari jeglongan yang bisa menyebabkan aku tersungkur kapan saja.
“terimakasih” kataku.
“Sans”
“eh iya. Kurasa kita kebablasan deh, bukannya taman smart itu ngga jauh-jauh amat dari tempat tongkrongan kita tadi?”
“mungkin kita beneran kebablasan sih, tadi aku melamun mikirin si do’i yang sampai sekarang tak memberikan kepastian”
Aku memasang muka poker face “yaudah balik, trus ke taman cerdas”
“jangan” dia menghentikanku yang sudah mau berbalik arah “kita bablasin aja. ketimbang duduk-duduk disana, mending kita jalan sambil menikmati waktu berjalan sampai subuh tiba”
Aku meng-ACC idenya. “okey” dan kita kembali berjalan menyusuri jalanan aspal halus nan abu-abu. Meski ada beberapa jeglongan tak kasat mata yang sering menjerumuskan.

            Kita Bersama bukan tanpa alasan, dalam dekapan lantunan suara jangkrik, terdapat sebuah makna tersirat akan arti kedamaian. Sebuah ranting jatuh ke arah kami. Meski begitu kami tetap berjalan  ke depan tanpa terusik. Ngobrol tentang masalah rutinitas yang menjemukan. Berusaha sekuat tenaga mengatur waktu dan mensingkronkan ritme di kampus, organisasi dan kehidupan. Berusaha tetap merasa tegar walau beban bertubi-tubi menghajar. Namun kami masih bisa tertawa Bersama karena memang hal itu dapat mengangkat berbagai masalah yang selama ini dirasakan.

            Sinar cahaya memantul. Aspal yang tadinya abu-abu bersinar bagai lampu led keluaran terbaru. Kali ini kami tak bisa mengabaikannya, karena kejadian itu tepat di depan kami.
“apakah ini fenomena langka dimana para alien bersiap menculik manusia di bumi?” gagas temanku itu dengan sudut pandang ngawur.
“mungkin” namun aku tetap mengiyakan saja dan berkonsentrasi mengamati kejadian aneh yang ada di depanku.

            Cahaya it uterus keluar dari atas sana. Menerjang muka kami. Mataku menyipit, tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Seseorang tiba-tiba keluar dari cahaya itu. sekelebat cahaya putih itu menggumpal dan mulai membentuk seseorang. Rambut Panjang putih menjuntai dan kini tubuh serba putih itu perlahan-lahan menyerupakan bentuknya menjadi sejenis manusia bertipe wanita, dengan gaun putih bersinar bagai rembulan di tanggal lima belas.

“cantik” sahut teman sebelahku. Aku menatapnya dengan risih karena melihatnya mimisan tanpa berkedip.
Kupalingkan lagi wajahku ke arah wanita itu. tatapannya lembut ke arah kami. Pikiranku di buat linglung bukan hanya dengan melihat pesonanya saja. tapi juga dengan proses kemunculannya.
“kalian adalah orang yang terpilih dari milyaran orang yang ada di dunia ini” sahut wanita itu dengan lantunan suara merdu.
Kami berdua hanya terbelalak dan tak mengerti…
“kalian adalah pahlawan terpilih yang nantinya akan menuju ke duniaku, dunia paralel, yang bernama Aisituru” jelas wanita itu lagi.
Aku menelan ludah. Kejadian ini sama halnya seperti beberapa komik bergenre Isekai yang sering kubaca dengan gratis di internet “be-beneran nih. Tak mungkin… Apa benar kejadian ini nyata?” tanyaku pada diri sendiri, dengan suara lirih.
Teman di sampingku masih tak henti-hentinya terpesona, matanya semenjak tadi tak bergeser semilipun dari fokusnya ke wanita itu.
Aku terpaksa menamparnya agar kembali ke jalan yang benar.

DUAK’ tampaknya tamparanku terlalu keras, membuatnya tersungkur tak sadarkan diri di tanah. “sorry bro” kataku dengan nada tak bersalah, karena hal itu mungkin pantas untuk dia dapatkan.

“selamat anak muda, kamulah yang terpilih menjadi pahlawan tunggal dalam menjelajahi duniaku kedepannya” terang sang wanita itu, dibalut kemilau cahaya rembulan yang merayap di sekujur tubuhnya.
“Hah!?” aku sama sekali tak mengerti.

“awalnya daku berniat untuk memilih salah satu dari kalian, dan mungkin daku akan mengajukan kalian untuk bertarung satu lawan satu untuk menentukan siapa yang benar-benar layak untuk masuk ke dalam duniaku. Dan sekarang aku melihatmu dengan mudah mengalahkannya, sehingga secara otomatis kaulah yang akan daku pilih untuk menjadi pahlawan di dunia ku, Aisituru

Aku tak henti-hentinya menatap dengan tatapan tak percaya. Dijulurkannya tangan wanita itu kedepan, siluet cahaya tercipta di telapak tangannya. Cahaya itu bagai benang yang menyebar menuju ke arahku. Benang-benang itu perlahan membungkus tubuhku. Aku tak bisa apa-apa. Badanku kaku seperti di dekap mike Tyson. Pasrah adalah jalan terbaik.

            Aku tak bisa berontak dan melawan. Membiarkan benang-benag cahaya ini menenggelamkan tubuhku. Kulihat temanku yang masih terkapar, mulai ngorok dan mengeluarkan air terjun dari mulutnya. Mungkin ini menjadi yang terakhir kalinya aku melihat sahabatku.

“jangan takut” kata wanita itu “kau akan menjadi pahlawan yang luar biasa nantinya”

        Kini benang cahaya itu sudah menutupi seluruh tubuhku. Terasa amat terang, nyaman, menjalar sampai ke rongga syaraf. Perasaan tentram percampur tak paham. Mengapa dan kenapa, aku seorang yang biasa ini bisa dipilih untuk masuk ke dunia lain dan menjadi pahlawan disana?



Selasa, 16 Oktober 2018


M         H         A